Komunitas Masyarakat adat Cek Bocek, hingga saat ini masih menjalankan ritual-ritual adat yang tidak pernah hilang dari generasi ke generasi, ritual tetap dijaga sebagai warisan budaya dari para leluhur senantiasa mendapat penghormatan yang setinggi-tingginya dalam hati setiap warga masyarakat tradisional ini.
2.2.1. Jango Kubur Leluhur (Zziarah ke makam leluhur )
Pada awal-awal bulan syawal, ritual ini dijalankan dan diikuti oleh seluruh komunitas masyarakat Cek Bocek, sebagai suatu penghormatan terhadap para Leluhur yang telah mewariskan segala ilmu dan wilayah adat yang subur, serta sebagai ajang tali silaturahmi di kalangan warga masyarkat Cek Bocek yang telah tinggal terpencar-pencar.
Biasanya Sehari sebelum ritual, warga Komunitas adat yg telah tinggal terpencar-pencar ini akan berkumpul di pemukiman Lawin, mereka menginap dan bersilaturahmi dikalangan kerabat-kerabatnya sendiri, bagi kaum wanita akan menyiapkan perbekalan untuk esok harinya. Dan pada keesokan paginya sekitar pukul 4 pagi, dengan di pimpin Kepala Suku, mereka berangkat menuju pemakaman Dewa Datu Awan Mas Kuning di Lawang Sasi. Pada sekitar pukul 10 mereka akan tiba di pemakaman Lawang Sasi, dan mulai melakukan ritual yang diawali dengan doa-doa khusus kepada Dewa Datu Awan mas Kuning. Selesai ritual mereka segera membersihkan makam makam tersebut dan bergerak ke makam Langir dan Suri. Setelah ritual khusus ini, sebagian kaum wanita akan kembali ke pemukiman Lawin, sedangkan kaum lelaki akan menuju makam-makam di lokasi Dodo Aho, Selesek, Kesek, Dodo Baha, untuk ziarah dan berdoa serta membersihkan makam-makam tersebut.
Selesai kegiatan tersebut, mereka akan bermalam di lokasi Dodo untuk bertukar cerita dan pengalaman. Esok paginya sebagian dari mereka akan kembali ke lokasi Pemukiman Lawin dan sebagian lagi biasanya akan melanjutkannya dengan acara berburu rusa.
Ritual adat yang dilakukan setahun sekali ini, merupakan ritual yang senantiasa mempererat ikatan kekerabatan dikalangan komunitas masyarakat Cek Bocek. Karena sebenarnya jika di lihat silsilahnya, mereka semuanya masih bersaudara, sejak jaman kakek buyutnya hingga keturunan pada generasi yang ke 7 ini.
Karena mereka adalah kaum yang sudah turun temurun beragama islam (muslim), maka ritual asli dari suku berco, sejak jaman Dewa Datu Awan mas kuning, telah banyak yang dirubah, terutama menyangkut pemberian sesaji-sesaji pada makam-makam leluhurnya.
2.2.3. Eneng Uran ( Ritual memanggil Hujan)
Pada saat-saat menjelang musim tanam padi sekitar awal bulan Desember, jika hujan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, maka masyarakat melakukan ritual memanggil hujan. Prosesi ini dilalui dengan musyawarah untuk menyepakati hari yang baik melakukan pemanggilan hujan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam ritual pemanggilan hujan diantaranya menyiapkan kembang 7 rupa, 7 ekor ayam putih, minyak khusus yang disiapkan oleh pawang/sandro. Untuk ritual ini akan dipimpin oleh seorang pawang hujan yang diwariskan turun-temurun. Perlengkapan yang disediakan oleh pawang hujan hanya berupa “tampah” yang dibacakan mantera-mantera
Pada hari yang telah ditentukan pada pukul 4 pagi sebagaian masyarakat berangkat menuju suatu tempat yang di kenal sebagai Tihu Maring (disekitar kawasan Dodo). Menuju lokasi ini ditempuh dengan berjalan kaki selama satu hari, Ketika tiba pada sore hari di tempat tersebut, biasanya mereka akan bermalam di lokasi, dan pada keesokan paginya mereka mulai bersiap melakukan ritual khusus ini .
Jam 6 pagi mereka sudah berkumpul di Tihu Maring, dengan posisi melingkar. Dalam ritual ini dipimpin oleh Pawang Hujan. Diawali dengan doa-doa khusus yang menyerupai pembacaan mantra-mantra berbahasa Berco, sang pawang berkomat-kamit sambil memejamkan mata selama 30 menit. Hal ini dilakukan untuk mengundang roh para leluhur yang dipercaya bersemayan di wilayah hutan larangan dan sekitar wilayah Dodo. Lamanya pembacaan mantra ini sebenarnya karena sang pawang juga harus berbincang-bincang dengan para leluhur untuk meminta bantuannya (secara batin). Selanjutnya pawang menaburkan kembang 7 rupa di lokasi Tihu Maring.
Selanjutnya Sang pawang meminta 5 orang untuk memegang tampah pusakanya dalam posisi melingkar, sementara pawang berada sekitar 3 meter dari posisi tampahnya. Dengan penuh konsentrasi pawang kembali berkomat-kamit sambil memejamkan mata Tidak berapa lama kemudian, 5 orang yang memegang tampah tersebut akan bergoyang-goyang seolah-olah sedang mengangkat sesuatu benda yang sangat berat, mereka segera terdorong kekiri dan kekanan sambil berusaha tetap mempertahankan posisinya. Setelah Pawang membuka matanya, dan menjulurkan kedua tangannya kemuka, segera beliau akan berteriak untuk melepaskan tampah tersebut. Dan ketika tampah dilepaskan oleh kelima pemegangnya, terlihat bahwa tampah tersebut berputar-
putar, untuk kemudian membubung ke udara setinggi 4 meter diatas tanah. Kejadian ini akan berlangsung sekitar 5 menit, sebagai pertanda terkabulnya permintaan tersebut. Setelah berputar-putar di udara, tampah tersebut kembali turun dan segera di tangkap oleh ke 5 orang yang telah siap memegangnya kembali.
Selanjutnya Pawang memerintahkan untuk melepaskan ke 7 ekor ayam putih ketanah dibiarkan lepas berkeliaran. Setelah membaca doa-doa penutup dan mengucapkan uluk salam kepada para leluhur, ritual ini dianggap telah selesai dilakukan, selanjutnya mereka akan berkemas-kemas untuk segera berangkat pulang menuju pemukiman Lawin. Dalam perjalanan pulang ini biasanya akan langsung tertimpa hujan yang turun dengan derasnya. Sebagai pertanda berhasilnya ritual tersebut. Demikianpun dengan hari-hari selanjutnya, akan menjadi hari-hari yang selalu di rundung hujan deras, hal ini merupakan berkah dari penguasa alam semesta ini.
2.2.4. Nabar (tulak bala)
Nabar adalah ritual yang dilakukan untuk menangkal musibah, khususnya dari hal-hal yang bersifat gaib. Dilakukan di pintu gerbang Pemukiman, ritual ini dipimpin oleh kepala suku dengan memotong seekor ayam putih, darahnya ditampung kemudian di campur dengan ramuan lainnya. Darah ayam yang sudah bercampur dengan ramuan lain, kemudian dioleskan di kening seluruh warga, sedangkan kepala ayam nya di tanam di bawah jalan gerbang masuk wilayah pemukiman. Ritual ini biasanya hanya akan dilakukan jika dianggap akan ada bahaya besar atau gangguan dari mahluk gaib. Sejalan dengan perkembangan jaman , ritual ini sudah jarang dilakukan.
2.2.5. Brajak nganyang (Main asu),
Pada masa lampau, ritual ini biasa dilakukan oleh warga komunitas Adat pada minggu-minggu menjelang tutup tahun, sebagai acara hiburan dan olah raga untuk mempererat kekerabatan dikalangan warga komunitas adat. Setiap warga yang memiliki anjing pemburu berkumpul dan segera bermusyawarah untuk menentukan lokasi-lokasi buruan. Semua kelompok yang hadir, mendapatkan arahan tentang lokasi buruan dan titik-titik pertemuan, serta waktu yang ditentukan untuk mengakhiri perburuan. Biasanya perburuan dilakukan selama beberap hari, sampai mendapatkan hewan buruan.
Rusa hasil buruan itu akan segera dibawa ke pemukiman Lawin dan segera diolah oleh kaum wanita. Setelah semua peserta hadir di pemukiman Lawin. Sejak jaman Dewa Datu Awan Mas Kuning, cara berburu suku Berco sudah menggunakan anjing peliharaan untuk menggiring buruannya. Mereka umumnya memiliki 4 – 6 ekor anjing-anjing terlatih berbadan tegap. Jika Melihat seekor rusa, si pemburu akan segera memerintahkan anjing-anjingnya untuk mengejar rusa tersebut. Pengejaran ini bisa memakan waktu 2 jam lamanya, hingga sang rusa kelelahan dan terdesak di suatu lembah dan sudah
dikelilingi anjing-anjing tersebut, disaat itulah sang pemburu datang dan melemparkan tombaknya kearah leher atau dada rusa. Umumnya para pemburu ini hanya 2 orang ditemani 5 – 6 ekor anjingnya. Medan berbukit membutuhkan tenaga ekstra keras untuk mengejar hewan buruan dengan bantuan anjing-anjing.