Perbincangan mengenai eksistensi masyarakat adat selalu menjadi topik yang menarik dan tidak jarang menimbulkan perdebatan, terutama jika keberadaan masyarakat adat bersama hak-haknya kemudian diperhadapkan dengan negara/pemerintah. Dari sekian banyak hak masyarakat adat, hak atas pengelolaan sumber daya alam menjadi topik yang menarik karena sumber daya alam memiliki peran yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat adat. Banyak masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang ada di wilayah kediamannya. Mereka hidup secara tradisional yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar dari alam sekitarnya. Pendapatan masyarakat adat sebagian besar, bahkan ada juga yang seluruhnya, berasal dari mengumpulkan atau memproses sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, sumber daya alam merupakan bagian menyeluruh dari kehidupannya, tidak hanya terbatas sebagai aset ekonomi semata.
Masyarakat adat memelihara hubungan sejarah dan hubungan kerohanian dengan sumber daya alamnya di wilayah di mana masyarakat adat tersebut hidup. Jika sumber daya alam terusik, apalagi terasingkan oleh negara/pemerintah atau pihak ketiga, maka yang akan terancam bukan hanya kehidupan ekonomi dari masyarakat adat tersebut saja, tetapi juga keseluruhan eksistensi masyarakat adat itu sendiri.[1] Hak untuk hidup, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak atas kesehatan, dan berbagai hak asasi manusia lainnya akan ikut dilanggar ketika masyarakat adat secara tidak adil dipisahkan dari sumber daya alamnya yang secara turun temurun telah menjadi sumber penghidupan.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai ruang lingkup sumber daya alam yaitu meliputi meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal ini juga mengatur tentang ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak menguasai negara tersebut bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ideologi hak menguasai negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Menurut I Nyoman Nurjaya, ketentuan bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut seharusnya bermakna kerakyatan dan patut ditafsirkan memberi hak kepada rakyat untuk menikmati sumber daya alam, agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga jika ada usaha pemerintah untuk menjadikan sumber daya alam sebagai sumber devisa dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional, maka kesejahteraan untuk rakyat tidak boleh dikesampingkan begitu saja apalagi jika kemudian rakyat diusir dari sumber daya alamnya dengan dalih legitimasi hukum yang diberikan kepada pemegang ijin HPH atau kuasa pertambangan yang dianggap memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut.[2]
Salah satu asas yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional adalah asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Ini berarti bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum, termasuk masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas, dan pelaksanaan hak masyarakat adat harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.[3] Adanya tuntutan untuk memprioritaskan kepentingan nasional serta inkonsistensi peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam seringkali menyebabkan masyarakat adat menjadi pihak yang paling sering dirugikan.
Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai HAM memiliki cakupan yang luas, tidak hanya hak untuk mengelola sumber daya alamnya, tetapi juga hak bagi masyarakat adat untuk memperoleh perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut sehingga keberlangsungan hidup mereka pun akan tetap terjamin. Dalam ketentuan menimbang butir b Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi atau dirampas oleh siapapun (termasuk oleh negara/pemerintah). Dengan menjadikan masalah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai isu keadilan dan HAM, maka dapat diklaim bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam sama seperti pihak-pihak lainnya dan negara/pemerintah bertanggungjawab untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun sayangnya, seringkali masyarakat adat tersingkir ketika negara/pemerintah dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dengan alasan kepentingan nasional. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat tidak seimbang dengan keuntungan yang didapat oleh negara/pemerintah. Bahkan tidak jarang, alih-alih mendapatkan kompensasi, keberadaan masyarakat adat malahan tidak diakui oleh negara/pemerintah. Di tengah himpitan globalisasi, privatisasi dan otonomi daerah, hak-hak masyarakat adat, termasuk hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat terancam. Dalam banyak kasus, masyarakat adat berada dalam posisi tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum. Mereka kesulitan untuk membela hak-haknya karena faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Masyarakat adat sering dicap sebagai perusak lingkungan, kelompok masyarakat terbelakang, kuno, dan berbagai stigma negatif lainnya terkait aktivitas kehidupan sehari-harinya yang memanfaatkan sumber daya alam. Masyarakat adat juga sering dipandang sebagai kelompok masyarakat penghambat pembangunan ketika mereka berusaha memperjuangkan hak-haknya atas sumber daya alam.
Posisi masyarakat adat yang lemah secara politik dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha swasta maupun pemerintah mengakibatkan pengambilalihan sumber daya alam dengan mudahnya oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum yang adil, atau bahkan tanpa kompensasi apapun. Sebagai contoh adalah kasus antara PT Freeport McMoran Indonesia dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah adat. Bukannya mendapatkan keuntungan dari adanya PT Freeport di wilayahnya, masyarakat adat justru tersingkir dan hak-hak mereka dilanggar. Pelanggaran yang mereka alami adalah pelanggaran hak atas kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar hidup yang layak, hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental, serta masih banyak hak lainnya, dimana hak-hak tersebut adalah merupakan HAM.[4] Menurut Daes, permasalahan umum yang dihadapi oleh masyarakat adat sehubungan dengan hak atas sumber daya alam mereka adalah kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah, dan sumber daya alam; hukum dan kebijakan diskriminatif yang berdampak pada masyarakat adat dalam hubungan dengan tanah dan sumber daya alam mereka; kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk memberi batas untuk tanah adat; dan kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk melaksanakan atau menerapkan hukum yang melindungi tanah masyarakat adat.[5]
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut mengatur dan memaknai sumber daya alam dalam berbagai spektrum. Di mulai dari pemahaman yang sempit tentang sumber daya alam, pemahaman sumber daya alam sebagai komoditi atau faktor produksi, sampai pada pemahaman sumber daya alam yang merupakan ekosistem yang utuh.
Hak-hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban yang lain.[6] Hak yang mendasar itu melekat kuat dengan jati diri kemanusiaan manusia. Siapa pun manusianya berhak memiliki hak tersebut. Berarti, di samping keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk bisa mengerti, memahami, dan bertanggungjawab untuk memeliharanya.[7]
Konsep HAM tidak sama seperti konsep hak lainnya. Dalam diri manusia melekat hak hidup, kebebasan, integritas pribadi, dan lain-lain yang niscaya perlu dalam rangka mengartikulasikan kehidupannya sesuai kodratnya secara bermartabat. HAM adalah klaim dari rakyat/warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhi apa yang menjadi hak-hak asasinya. Dalam teori politik hukum dikenal adanya dua jenis konsep hak berdasarkan asal usulnya, yaitu hak berian dan hak bawaan.[8] Hak berian yaitu berupa pelimpahan wewenang. Sedangkan hak bawaan adalah hak yang mempunyai sifat melekat dan tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Hak bawaan inilah yang ada pada masyarakat adat. Penghilangan atau pencerabutan secara paksa atas hak yang melekat menyebabkan bubarnya masyarakat sebagai sebuah komunitas yang mampu mengurus dirinya sendiri. Seluruh daya untuk hidup dari masyarakat tersebut akan hilang, bahkan dapat menyebabkan hilangnya identitas masyarakat adat.
Hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam sangat terkait dengan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hal ini berarti, jika hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam dilanggar maka bisa jadi keberadaan masyarakat adat tersebut akan hilang. Dilanggarnya hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam membuat masyarakat kehilangan haknya untuk hidup secara layak. Ketika masyarakat adat dipisahkan dari sumber daya alamnya, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Akses terhadap sumber daya alam yang tertutup membuat masyarakat adat kehilangan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, kehilangan kesempatan dalam kebudayaan karena tidak dapat melakukan ritual-ritual adatnya, serta kehilangan kesempatan untuk menikmati hidup yang sehat baik secara fisik maupun mental. Eksploitasi sumber daya alam dengan dukungan negara/pemerintah acapkali memarginalkan posisi masyarakat adat.
Sesungguhnya tiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan, dan apapun bentuknya yang mengakibatkan tersingkirnya hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam merupakan pelanggaran terhadap hak mereka, yakni HAM. Oleh sebab itulah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan HAM yang harus dilindungi dan dijamin pemenuhannya oleh negara/pemerintah. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Penekanan ini bukan untuk mensugesti pemerintah agar melakukan kapitalisasi masyarakat adat sebagai pemilik dominan, melainkan hadirnya sebuah politik negara untuk menjembatani kepentingan masyarakat adat dengan baik.
Hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam sebagai HAM berarti masyarakat adat dapat mengklaim negara supaya memenuhi apa yang menjadi hak-hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alam. Hak tersebut tidak terbatas pada kebebasan untuk pengelolaan sumber daya alam semata tapi juga perlindungan selama menikmati hak tersebut. Teori hukum HAM berdasarkan yurisprudensi mensistematisasi dua kewajiban hukum utama negara. Kewajiban pertama (primary rules) berkenaan dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM baik melalui tindakan maupun pendiaman termasuk menjamin pemenuhan secara aktif hak-hak tersebut. Ini berarti negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang akan merugikan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya pengusiran paksa masyarakat adat dari wilayah yang telah ditempati secara turun temurun hanya karena wilayah tersebut akan diberikan ijin HPH. Kemudian negara juga tidak boleh diam saja ketika terjadi pelanggaran oleh pihak ketiga terhadap masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kewajiban kedua (secondary rules) berkenaan dengan kewajiban negara untuk mencegah pelanggaran, menyelidikinya ketika terjadi, melakukan proses hukum kepada pelaku serta melakukan reparasi atas kerugian yang timbul. Berkenaan dengan kewajiban ini, negara harus melakukan upaya-upaya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kalaupun ternyata telah terjadi pelanggaran baik oleh aparat pemerintah atau pihak ketika, negara wajib menyelidiki dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran.
Kewajiban dalam primary rules masih dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk kewajiban : menghormati, melindungi, dan melaksanakan (to respect, to protect, and to fulfil). Kewajiban menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan ketika masyarakat adat menikmati haknya atas pengelolaan sumber daya alam. Negara tidak boleh mencampuri urusan internal masyarakat adat sepanjang urusan tersebut tidak diminta oleh masyarakat adat untuk diselesaikan oleh negara. Kewajiban melindungi mengharuskan negara mencegah pelanggaran hak oleh pihak ketiga. Negara harus mengambil langkah-langkah yang tegas dan jelas dalam mencegah intervensi yang merusak atau merugikan kepentingan masyarakat adat, baik yang bersumber dari negara itu sendiri, kelompok sosial lain yang bukan masyarakat adat dan terutama dari pihak pemodal besar yang ingin mengeksploitasi kekayaan alam yang ada dalam wilayah masyarakat adat. Kewajiban melaksanakan mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, finansial, hukum, dan tindakan lain yang memadai guna pelaksanaan hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya.
Secara filosofis, hak untuk mengelola sumber daya alam sebagai hak masyarakat adat dan adanya kewajiban negara untuk memenuhi hak tersebut, dilihat pada situasi bahwa tidak setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati haknya itu adalah merupakan isu keadilan. Keadilan menuntut agar ketidakadilan ditiadakan, agar setiap orang diperlakukan menurut hak-haknya, dan agar tidak ada perbedaan yang sewenang-wenang dalam memperlakukan anggota-anggota masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang setidak-tidaknya dapat meminimalisir sekecil mungkin bahaya dari adanya ketidakadilan.[9] Menurut Rawls, keadilan harus mampu memberikan kesempatan yang fair serta hak yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi.[10] Teori Rawls sejalan dengan Sila V Pancasila yang menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Semangat inilah yang harus menjiwai pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk untuk melindungi dari hal-hal yang mengancam kebebasan untuk melaksanakan hak tersebut.
Adanya hak menguasai negara bukan berarti negara mempunyai hak untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa melibatkan masyarakat adat di wilayah tersebut. Hak menguasai negara tersebut di atas ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.[11] Di satu sisi negara sebagai agen pembangunan yang membutuhkan banyak modal dan sumber daya alam merupakan modal utama yang dapat digunakan oleh negara. Tapi di sisi lain negara mempunyai tanggungjawab untuk melindungi HAM masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga jika kedua tanggungjawab negara ini diperhadapkan, maka negara harus menjalankan kedua tanggungjawab ini secara bersamaan, tidak bisa hanya salah satu, yaitu melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakatnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara bijak dan melibatkan masyarakat adat di wilayah tersebut sehingga nantinya tidak akan terjadi pelanggaran hak. Negara harus membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang menjamin partisipasi yang berarti dan efektif bagi masyarakat adat dalam penikmatan keuntungan yang diperoleh dari sumber daya alam.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas-komunitas masyarakat adat.[12] Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat, pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi. Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Menjadi sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice) dengan persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa persamaan merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan berkaitan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan yang tidak sama antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan yang dimaksud di sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung kondisi dan kualifikasi masing-masing individu yang disebut juga persamaan yang proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan, kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam kualifikasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi, kualifikasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifikasi yang sama, harus diberikan hak yang sama pula. Di situlah terletak keadilan.
Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai penerapan konsep keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu.[13] Akan tetapi, keadilan bukan hanya masalah persamaan perlakuan, atau dengan kata lain, keadilan tidak hanya menyangkut dengan masalah diskriminasi, tapi jauh lebih luas lagi dari itu, misalnya keadilan berhubungan juga dengan masalah pengakuan atas hak-hak dasar manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam bukan berarti negara harus mempersamakan perlakuan antara masyarakat adat dengan para pengusaha swasta ataupun negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun sesuai dengan prinsip non-diskriminasi, tanpa terkecuali negara harus menjamin pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara harus memberikan porsi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat saat ini dan juga memperhitungkan untuk di masa yang akan datang demi keberlangsungan eksistensi mereka dan keturunannya. Negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut tidak terpenuhi.[14] Memang bukan sesuatu yang mudah untuk menjembati antara dua kepentingam, yaitu kepentingan negara dan kepentingan masyarakat adat. Namun pemerintah harus tetap menjalankan kewajibannya secara bijak dan adil sehingga dapat terwujud kesejahteraan tidak hanya bagi segelintir orang saja.
Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Seyogyanya hak menguasai negara tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Konsep hak menguasai negara tersebut tidak boleh diartikan secara sempit dan disalahgunakan sehingga negara dengan hak tersebut mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam dan menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Negara/pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Negara/pemerintah hendaknya lebih memperhatikan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak asasi mereka sebelum memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak pengusaha swasta. Negara/pemerintah harus berlaku cermat, hati-hati dan penuh itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya melindungi hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Dengan dilaksanakannya kewajiban negara atas hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam berarti negara juga melakukan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat adat.
[1] Disarikan dari Stavenhagen, www.komnasham.go.id/artikel/hak/masyarakat adat.doc : 1-6
[2] I Nyoman Nurjaya, Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Jakarta, ICEL, 1993, hal. 37-38
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria&Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 60
[4] http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-05,id.html
[5] Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta, Elsam, 2006, hal. 71-82
[6] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2006, hal. 168
[7] Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 145
[8] Rafael Edy Bosko, op.cit., hal. 208
[9] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal. 90
[10] John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Harvard University Press, 1971, hal. 228
[11] Sri Harini, Diktat Hukum Agraria, Salatiga, FH UKSW, 2005, hal.46-47
[12] I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2008, hal. 45
[13] H. L. A. Hart, Konsep Hukum The Concept Of Law, Bandung, Nusa Media, 2009, hal. 246
[14] Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, Rajagrafindo, 2008, hal. xxx