“Kedaulatan di Cangkir Kopi: tanah adat bukan untuk dijual, tapi untuk dihidupi,”

Di kaki perbukitan Lawin, Kecamatan Ropang, aroma kopi menyeruak dari rumah panggung milik Ketua Koperasi Aldi­ansyah, 27 tahun, Pemuda Adat Suku Berco itu menimbang biji kopi hasil panen pagi tadi. “Setiap biji ini membawa cerita tanah leluhur kami,” ujarnya

Kopi dimaksud adalah kopi yang diberi label “KOPI DJOEANG”, varietas lokal Robusta dan Arabica yang tumbuh di tanah subur wilayah adat. Bagi warga setempat, kopi bukan sekadar komoditas. “Ini warisan budaya sekaligus sumber penghidupan,” kata Aldi­ansyah.

Tonggak awal penguatan komunitas dimulai pada 2020, ketika Pemerintah Desa Lawin mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) No. 1 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury. Aldi­ansyah menyebut aturan itu sebagai “landasan legal” yang memberi ruang bagi masyarakat adat mengelola wilayahnya.

Kepala Desa Lawin/Tokoh Adat mengangkut hasil panen kopi.

Ket foto: Kepala Desa Lawin/Tokoh Adat mengangkut hasil panen kopi.

“Tapi pengakuan hukum saja tidak cukup,” katanya. “Kami perlu instrumen ekonomi yang membuat Perdes ini hidup.” Dari situlah gagasan koperasi lahir: menghubungkan norma hukum dengan realitas ekonomi warga.

Koperasi yang ia pimpin berfungsi sebagai pusat pengolahan dan pemasaran kopi. Harga beli ditetapkan secara kolektif, proses pasca panen dilakukan bersama, dan distribusi keuntungan dibagi rata. “Nilai tambahnya tetap di tangan komunitas, bukan tengkulak,” ujar Aldi­ansyah.

Selain urusan teknis, koperasi juga memosisikan diri sebagai “institusi ekonomi kultural” yang menjaga praktik pertanian adat. Tidak ada pupuk kimia, semua pengolahan mengikuti siklus alam.

Setiap kemasan kopi yang keluar dari koperasi diberi label berisi narasi singkat tentang tanah leluhur dan sistem pertanian lestari Suku Berco. Aldi­ansyah menyebutnya “diplomasi kopi”—cara mengajak konsumen terlibat dalam gerakan keberlanjutan dan keadilan.

Keberadaan koperasi juga menjadi strategi bertahan di tengah ancaman industri ekstraktif, khususnya tambang, yang mulai mengincar wilayah adat.
*“Kopi adalah pernyataan sikap: tanah adat bukan untuk dijual, tapi untuk dihidupi,”* ucap Aldi­ansyah.
Ia yakin, sinergi koperasi, masyarakat adat dan pemerintah desa akan menjadi model pembangunan yang memadukan perlindungan adat dengan penguatan ekonomi. “Kalau ini berhasil, kami akan mengirim pesan ke dunia: kedaulatan bisa diseduh setiap pagi.” tutupnya.

Kabar Terkait