Kerangka Hukum Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat

Konstruksi Pengaturan Keberadaan dan Hak-Hak Masyarakat Adat dalam UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan atas eksistensi ini perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan kebebasan dasar. Manusia hanya mungkin menjadi manusia jika hak dan kebebasan dasarnya terpenuhi. Pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan Daerah.

Pasal 18B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja. Dengan cara yang sama kita tidak mungkin mengenakan istilah ‘masyarakat hukum Indonesia’ kepada masyarakat Indonesia umumnya, karena hukum Negara hanyalah salah satu aspek dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Meskipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa “sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang”.

Syarat-syarat ini berkaitan satu sama lain dan menempatkan masyarakat adat dalam situasi dilematis. Di satu sisi keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh adanya pengakuan Negara di mana keputusan untuk menyatakan mereka masih ada atau tidak juga berada di tangan Negara yang menetapkan syarat tersebut; di sisi lain pengakuan itu menghendaki adanya bukti bahwa masyarakat adat masih ada; dan upaya pembuktian tersebut juga dilakukan oleh Negara. Lalu di mana peran masyarakat untuk membuktikan bahwa mereka masih ada? Dari perspektif legal, ini berarti selama tidak ada undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat adat, maka masyarakat adat tetap tidak ada, meskipun secara sosiologis mereka ada.

Di sisi lain, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional, menjadi penandatangan untuk beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrumen HAM internasional yang dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.

Di samping ‘pengakuan bersyarat’, persoalan lain yang perlu disorot lebih jauh adalah sifat dari hak-hak yang diakui dalam peraturan perundangan Indonesia. Baik undang-undang yang bersumber dari instrumen internasional HAM maupun peraturan perundangan lainnya, tidak ada penjelasan mengenai hak kolektif yang menjadi salah satu pilar dalam klaim masyarakat adat. Hak kolektif bukanlah hak tradisional sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18B Amandemen Kedua UUD 1945 maupun peraturan perundangan lainnya. Tidak jelas pula apa yang dimaksud dengan hak tradisional dalam peraturan perundangan Indonesia, sementara hak kolektif yang diklaim masyarakat adat lebih tepat dipadankan dengan hak asal-usul yang dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), di mana sistem pengurusan diri sendiri memiliki keistimewaan antara lain dalam sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam. Dari perspektif hukum, ‘syarat-syarat’ yang dicantumkan dalam anak kalimat Pasal 18B khususnya ‘sepanjang masih ada’ adalah ketentuan yang melemahkan unsur pengakuan dalam kalimat utamanya.

Baik UUD 1945 maupun berbagai UU yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap masyarakat adat adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, bilamana kondisi yang memperlemah pengakuan, penghormatan dan perlindungan dapat dihilangkan. Di sisi lain, keistimewaan masyarakat adat dalam sistem pengurusan diri sendiri, yang mencakup sistem pemerintahan dalam komuniti maupun sistem peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan tanah dan sumberdaya alam dapat didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-cita kebangsaan. Ini berarti ada pembagian ruang pengurusan antara Negara dan masyarakat adat di mana Negara memberikan semacam otonomi untuk menjalankan sistem pengurusan diri sendiri itu di dalam masing-masing komuniti, namun tetap di dalam kerangka sistem Negara Indonesia. Belakangan ini dapat disaksikan bagaimana sistem peradilan adat mulai dijalankan kembali dalam sejumlah kasus.

Di samping Pasal 18B, Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen Kedua dan Pasal 32 UUD 1945 Amandemen IV juga merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.

Kebudayaan mengandung unsur adat istiadat, karena adat istiadat juga merupakan hasil perkembangan dalam sebuah masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 butir 12 UU 32 Tahun 2004 yang menyatakan tentang desa atau satuan masyarakat dengan nama lain yang terbentuk berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat dan bahwa kelompok masyarakat tersebut (desa atau dengan nama lain) diakui dan dihormati dalam Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi pasal-pasal ini merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I ayat 4 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama Pemerintah.

Kebudayaan adalah pengertian yang dikenakan kepada sebuah masyarakat. Bukan individu. Untuk individu kita mengenal perilaku dan hasil karya. Keseluruhan atau akumulasi hasil karya dan perkembangan sebuah masyarakat dari sebuah periode sejarah kita namakan kebudayaan. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Bahkan masyarakat yang sudah punah sekalipun masih meninggalkan kebudayaan mereka. Dengan demikian yang disebut dengan identitas budaya dari masyarakat tradisional Pasal 28I ayat 3 adalah kebudayaan sebuah kelompok masyarakat meskipun belum jelas masyarakat mana yang dimaksud. Jika pasal ini ditafsirkan dalam hubungannya dengan Pasal 18B ayat 2 maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat tradisional dalam Pasal 28I ayat 3 adalah masyarakat hukum adat dengan hak tradisional sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18B ayat 2, yang dalam naskah ini disebut dengan masyarakat adat.

Dalam hal ini tidak dibutuhkan frasa ‘sepanjang masih ada’, karena tidak mungkin. Istilah tradisional hanya mencerminkan ‘tingkat’ perkembangan kebudayaan sebuah masyarakat. ‘Tingkat’ itu pun hanya berlaku jika dipaksakan sebuah kategori dari perspektif teori perkembangan, di mana era yang ditandai dengan revolusi ilmu dan teknologi seringkali diberi label ‘modern’ sementara era sebelumnya diberi label ‘tradisional’. Masyarakat yang telah menyerap ilmu dan teknologi dalam dinamika sosial dan pembangunannya umumnya diberi label ‘masyarakat modern’ sedangkan masyarakat yang masih menggunakan moda produksi subsisten dengan peralatan sederhana diberi label ‘masyarakat tradisional’. Namun semua label ini tidak dapat dan tidak mungkin menyatakan bahwa sebuah masyarakat tidak memiliki kebudayaan.

Di sisi lain, isi pasal-pasal tersebut tidaklah jamak bila bermaksud menegaskan bahwa pengakuan tersebut akan diberikan bilamana sifat ‘tradisional’ tersebut ‘masih ada’. Yang berarti pula bahwa pengakuan tidak akan atau tidak perlu diberikan bilamana sifat tradisional sudah tidak ada lagi. Hal itu berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa semua masyarakat berkembang secara serempak dan seirama melewati tahap-tahap yang sama bersamaan. Masalahnya terletak dalam pengertian dan batasan dari sifat ‘tradisional’ tersebut dan pada pertanyaan ‘kapan ke-tradisional-an itu berakhir. Padahal sifat ‘tradisional’ itu dilekatkan karena adanya perbandingan dengan sebuah perkembangan kebudayaan lain di mana unsur ‘modern’ juga sudah dilekatkan. Itu berarti juga bahwa selama ada kelompok masyarakat yang sudah lebih dulu mencapai tahapan ‘modern’, selalu dan senantiasa akan ada masyarakat yang bersifat ‘tradisional’. Bukan tidak mungkin bahwa tahapan yang kita kenal sekarang ini di kota-kota besar di Indonesia akan menjadi ‘tradisional’ dalam beberapa puluh tahun ke depan.

Dengan demikian jelaslah bahwa sebuah pengakuan yang diberikan dengan persyaratan masih adanya sifat tradisional sama dengan mengatakan bahwa tidak ada berbedaan perkembangan antara berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan di dunia sepanjang sejarah dunia. Pengakuan seperti itu mempunyai dua sisi implikasi. Di satu sisi ia hendak mengatakan bahwa bilamana masyarakat yang ‘tradisional’ itu telah berkembang mencapai tahapan yang sama dengan yang sekarang ini disebut ‘modern’ maka mereka tidak perlu diakui sebagai masyarakat tradisional (atau sebagai masyarakat adat) lagi. Cara pikir ini berarti mengatakan bahwa kebudayaan yang sekarang ini ‘modern’ tidak akan pernah berkembang lagi lebih ‘maju’ sehingga pada suatu saat semua masyarakat akan sama-sama modern dan tidak ada lagi yang ‘tradisional. Kedua, dengan cara berpikir lain, maka kita dapat mengatakan bahwa selama ada perbedaan dalam perkembangan berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan di dunia ini, maka selalu akan ada yang ‘tradisional’ dan yang ‘modern’. Dan dengan demikian yang ‘tradisional’ otomatis harus diakui karena pasti akan selalu ada.

Jelaslah, dari perspektif juridis, dan berdasarkan tafsir logis dari bunyi pasal di atas bahwa baik sifat kelengkapan sosial politik untuk pengurusan diri sendiri, maupun dari perspektif perkembangan peradaban di mana ada dikotomi ‘tradisional’ dan ‘modern’, masyarakat adat perlu diakui secara legal dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan mempertimbangkan Pancasila, UUD 1945 (sebelum maupun sesudah Amandemen), dan semboyan Negara Bhineka Tunggal Ika, maka persoalan pengakuan bersyarat dan hak kolektif perlu dikaji lebih jauh untuk menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia memang terdapat masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Urgensi dari adanya pengakuan legal dalam bentuk sebuah undang-undang tentang hak masyarakat adat terletak dalam penegasan hak-hak masyarakat dengan susunan asli untuk diakui, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara, terutama Pemerintah.

Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Pancasila adalah rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan Negara, sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjadi pedoman dan rujukan semua peraturan perundangan. Pengakuan atas keberagaman dicantumkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan bahwa ’Pembagian Daerah atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa’.

Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa ‘Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.

Ada empat aspek penting dalam penjelasan tersebut. Pertama, bahwa di Indonesia terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli. Istilah ‘susunan asli’ tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau Zelfbesturende landschappen. Bahwa pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape) yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat dapat dilihat dari frasa yang menggabungkan istilah Zelfbesturende dan landschappen. Artinya, pengurusan diri sendiri tersebut berkaitan dengan sebuah wilayah.

Kedua, semua kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Keistimewaan ini dapat dirumuskan dengan mengatakan bahwa kelompok masyarakat tersebut mempunyai kelengkapan sistem pengurusan diri sendiri. Kelengkapan tersebut diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana dapat dilihat dari penamaan desa di Jawa sebagai sebuah dorpsrepubliek atau republik desa. Salah satu unsur kelengkapan pengurusan diri sendiri itu adalah adanya sistem peradilan, baik peradilan adat (inheemse rechtspraak) tercantum di dalam pasal 130 IS dan pasal 3 Ind. Staatsblad 1932 nomor 80, maupun peradilan desa (dorpsrechtspraak). Jelas bahwa istilah republik desa menunjukkan adanya pengakuan bahwa kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang termasuk dalam kategori Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen sudah memiliki sistem yang menyerupai negara. Tidak mengherankan bahwa dalam bagian Penjelasan Pasal 18 dicantumkan pula uraian yang bernada antisipatif bahwa ’Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga’. Namun pernyataan ini tidak membatalkan unsur penghormatan oleh Negara Indonesia terhadap berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli tersebut.

Penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki susunan asli adalah aspek ketiga dalam bagian Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Bentuk dari penghormatan tersebut adalah aspek keempat, yaitu dengan mengingat hak asal-usul dari berbagai kelompok masyarakat yang dimaksud. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara melalui pembangunan nasional, hak asal-usul berbagai kelompok masyarakat tersebut jangan sampai diabaikan apalagi dengan sengaja dipaksahapuskan oleh pemerintah.

Dari perspektif ketatanegaraan, Pasal 18 UUD 1945 beserta Penjelasannya adalah uraian lebih jauh dari semboyan bhineka tunggal ika. Ke-bhineka-an terwujud dalam berbagai kelompok masyarakat dengan susunan asli. Bahwa susunan asli tersebut adalah sebuah sistem pengurusan diri sendiri yang bersifat lengkap untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak asal-usul. Dan bahwa penghormatan terhadap keberadaan masyarakat dengan susunan asli berada di pundak Negara dengan catatan bahwa susunan asli tersebut tidak membentuk sebuah Negara di dalam teritori Negara Republik Indonesia. Semua ini merupakan landasan menuju kepada pencapaian cita-cita kebangsaan, yaitu ke-tunggal-ika-an sebagai bangsa Indonesia.

Dengan kata lain, seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa dapat tercapai.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, unsur penghormatan terhadap masyarakat dengan susunan asli pernah mengalami distorsi yang tajam dengan upaya penyeragaman melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Bahwa ini merupakan sebuah kekeliruan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia pun sudah diakui oleh Negara sebagaimana dapat dilihat dalam bagian ‘Menimbang’ butir 5 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ‘bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti’.


Tabel: Landasan Konstitusional Masyarakat Adat dalam UUD 1945

Ketentuan Pendekatan Substansi Tanggung Jawab
Pasal 18B ayat (2) Tata Pemerintahan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU. – Negara mengakui dan menghormati.
– Selanjutnya diatur di dalam undang-undang.
Pasal 28I ayat (3) Hak Asasi Manusia Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Negara menghormati.
Pasal 32 ayat (1) & (2) Kebudayaan (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Negara menghormati dan menjamin kebebasan masyarakat.

Hak-Hak Masyarakat Adat dalam UU Sektoral

Beberapa undang-undang sektoral juga cukup banyak muatan aturan yang menjamin hak-hak masyarakat adat, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria (UUPA)
    • Pasal 2 ayat 4: Hak menguasai dari Negara dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
    • Pasal 3: Hak ulayat diakui sepanjang kenyataannya masih ada.
  2. UU No. 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan
    • Pasal 6 (b): Hak penduduk untuk mengembangkan kebudayaan, hak atas wilayah warisan adat, dan hak melestarikan perilaku budaya.
  3. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
    • Penjelasan Pasal 4 ayat 2: Penggantian yang layak bagi pemegang hak adat yang dirugikan akibat pembangunan.
  4. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati
    • Pasal 8 (j): Perlindungan pengetahuan dan praktik masyarakat adat dalam konservasi hayati.
    • Pasal 15 (4): Akses atas sumber daya hayati harus berdasarkan persetujuan bersama.
  5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
    • Pasal 2 ayat (9): Pengakuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya.
    • Pasal 206: Kewenangan desa adat dalam mengurus hak asal-usul.
  6. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
    • Pasal 67 ayat (2): Pengukuhan masyarakat hukum adat melalui Perda.
  7. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
    • Pasal 6 ayat (2): Perlindungan identitas budaya dan tanah ulayat masyarakat adat.
  8. TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria
    • Perintah untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas sumber daya alam.
  9. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
    • Pasal 6 ayat (2): Pengakuan hak ulayat masyarakat adat atas air.
    • Pasal 6 ayat (3): Syarat pengakuan hak ulayat: (a) masyarakat adat masih ada, (b) wilayah jelas, (c) hukum adat masih berlaku.
  10. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
    • Pasal 9 ayat (2): Kewajiban musyawarah dengan masyarakat adat sebelum pemberian hak atas tanah ulayat.
  11. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir
    • Definisi Masyarakat Adat: Kelompok yang bermukim turun-temurun dengan ikatan asal-usul dan sistem nilai.
    • Tanggung Jawab Negara: Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat.

Kabar Terkait