Konstruksi pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan atas eksistensi ini perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan kebebasan dasar. Manusia hanya mungkin menjadi manusia jika hak dan kebebasan dasarnya terpenuhi. Pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan Daerah.
Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja. Dengan cara yang sama kita tidak mungkin mengenakan istilah ‘masyarakat hukum Indonesia’ kepada masyarakat Indonesia umumnya, karena hukum Negara hanyalah salah satu aspek dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Meksipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa “sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang.
Syarat-syarat ini berkaitan satu sama lain dan menempatkan masyarakat adat dalam situasi dilematis. Di satu sisi keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh adanya pengakuan Negara di mana keputusan untuk menyatakan mereka masih ada atau tidak juga berada di tangan Negara yang menetapkan syarat tersebut; di sisi lain pengakuan itu menghendaki adanya bukti bahwa masyarakat adat masih ada; dan upaya pembuktian tersebut juga dilakukan oleh Negara. Lalu di mana peran masyarakat untuk membuktikan bahwa mereka masih ada? Dari perspektif legal, ini berarti selama tidak ada undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat adat, maka masyarakat adat tetap tidak ada, meskipun secara sosiologis mereka ada.
Di sisi lain, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah instrument HAM internasional, menjadi penandatangan untuk beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrument HAM internasional yang dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.
Di samping ‘pengakuan bersyarat’ persoalan lain yang perlu disorot lebih jauh adalah sifat dari hak-hak yang diakui dalam peraturan perundangan Indonesia. Baik undang-undang yang bersumber dari instrumen internasional HAM maupun peraturan perundangan lainnya, tidak ada penjelasan mengenai hak kolektif yang menjadi salah satu pilar dalam klaim masyarakat adat. Hak kolektif bukanlah hak tradisional sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 maupun peraturan perundangan lainnya. Tidak jelas pula apa yang dimaksud dengan hak tradisional dalam peraturan perundangan Indonesia, sementara hak kolektif yang diklaim masyarakat adat lebih tepat dipadankan dengan hak asal-usul yang dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), di mana sistem pengurusan diri sendiri memiliki keistimewaan antara lain dalam sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam. Dari perspektif hukum, ‘syarat-syarat’ yang dicantumkan dalam anak kalimat Pasal 18 B khususnya ‘sepanjang masih ada’ adalah ketentuan yang melemahkan unsur pengakuan dalam kalimat utamanya.
Baik UUD 1945 maupun berbagai UU yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap masyarakat adat adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, bilamana kondisi yang memperlemah pengakuan, penghormatan dan perlindungan dapat dihilangkan. Di sisi lain, keistimewaan masyarakat adat dalam sistem pengurusan diri sendiri, yang mencakup sistem pemerintahan dalam komuniti maupun sistem peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan tanah dan sumberdaya alam dapat didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-cita kebangsaan. Ini berarti ada pembagian ruang pengurusan antara Negara dan masyarakat adat di mana Negara memberikan semacam otonomi untuk menjalankan sistem pengurusan diri sendiri itu di dalam masing-masing komuniti, namun tetap di dalam kerangka sistem Negara Indonesia. Belakangan ini dapat disaksikan bagaimana sistem peradilan adat mulai dijalankan kembali dalam sejumlah kasus.
Di samping Pasal 18 B, Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen Kedua dan Pasal 32 UUD 1945 Amandemen IV juga merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Kebudayaan mengandung unsur adat istiadat, karena adat istiadat juga merupakan hasil perkembangan dalam sebuah masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 butir 12 UU 32 Tahun 2004 yang menyatakan tentang desa atau satuan masyarakat dengan nama lain yang terbentuk berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat dan bahwa kelompok masyarakat tersebut (desa atau dengan nama lain) diakui dan dihormati dalam Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi pasal-pasal ini merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat 4 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama Pemerintah.
Kebudayaan adalah pengertian yang dikenakan kepada sebuah masyarakat. Bukan individu. Untuk individu kita mengenal perilaku dan hasil karya. Keseluruhan atau akumulasi hasil karya dan perkembangan sebuah masyarakat dari sebuah periode sejarah kita namakan kebudayaan. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Bahkan masyarakat yang sudah punah sekalipun masih meninggalkan kebudayaan mereka. Dengan demikian yang disebut dengan identitas budaya dari masyarakat tradisional Pasal 28 I ayat 3 adalah kebudayaan sebuah kelompok masyarakat meskipun belum jelas masyarakat mana yang dimaksud. Jika pasal ini ditafsirkan dalam hubungannya dengan Pasal 18 B ayat 2 maka ada kemungkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat tradisional dalam Pasal 28 I ayat 3 adalah masyarakat hukum adat dengan hak tradisional sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18 B ayat 2, yang dalam naskah ini disebut dengan masyarakat adat.
Dalam hal ini tidak dibutuhkan frasa ‘sepanjang masih ada’, karena tidak mungkin. Istilah tradisional hanya mencerminkan ‘tingkat’ perkembangan kebudayaan sebuah masyarakat. ‘Tingkat’ itu pun hanya berlaku jika dipaksakan sebuah kategori dari perspektif teori perkembangan, di mana era yang ditandai dengan revolusi ilmu dan teknologi seringkali diberi label ‘modern’ sementara era sebelumnya diberi label ‘tradisional’. Masyarakat yang telah menyerap ilmu dan teknologi dalam dinamika sosial dan pembangunannya umumnya diberi label ‘masyarakat modern’ sedangkan masyarakat yang masih menggunakan moda produksi subsisten dengan peralatan sederhana diberi label ‘masyarakat tradisional’. Namun semua label ini tidak dapat dan tidak mungkin menyatakan bahwa sebuah masyarakat tidak memiliki kebudayaan.
Di sisi lain, isi pasal-pasal tersebut tidaklah jamak bila bermaksud menegaskan bahwa pengakuan tersebut akan diberikan bilamana sifat ‘tradisional’ tersebut ‘masih ada’. Yang berarti pula bahwa pengakuan tidak akan atau tidak perlu diberikan bilamana sifat tradisional sudah tidak ada lagi. Hal itu berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa semua masyarakat berkembang secara serempak dan seirama melewati tahap-tahap yang sama bersamaan. Masalahnya terletak dalam pengertian dan batasan dari sifat ‘tradisional’ tersebut dan pada pertanyaan ‘kapan ke-tradisional-an itu berakhir. Padahal sifat ‘tradisional’ itu dilekatkan karena adanya perbandingan dengan sebuah perkembangan kebudayaan lain di mana unsur ‘modern’ juga sudah dilekatkan. Itu berarti juga bahwa selama ada kelompok masyarakat yang sudah lebih dulu mencapai tahapan ‘modern’, selalu dan senantiasa akan ada masyarakat yang bersifat ‘tradisional’. Bukan tidak mungkin bahwa tahapan yang kita kenal sekarang ini di kota-kota besar di Indonesia akan menjadi ‘tradisional’ dalam beberapa puluh tahun ke depan.
Dengan demikian jelaslah bahwa sebuah pengakuan yang diberikan dengan persyaratan masih adanya sifat tradisional sama dengan mengatakan bahwa tidak ada berbedaan perkembangan antara berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan di dunia sepanjang sejarah dunia. Pengakuan seperti itu mempunyai dua sisi implikasi. Di satu sisi ia hendak mengatakan bahwa bilamana masyarakat yang ‘tradisional’ itu telah berkembang mencapai tahapan yang sama dengan yang sekarang ini disebut ‘modern’ maka mereka tidak perlu diakui sebagai masyarakat tradisional (atau sebagai masyarakat adat) lagi. Cara pikir ini berarti mengatakan bahwa kebudayaan yang sekarang ini ‘modern’ tidak akan pernah berkembang lagi lebih ‘maju’ sehingga pada suatu saat semua masyarakat akan sama-sama modern dan tidak ada lagi yang ‘tradisional. Kedua, dengan cara berpikir lain, maka kita dapat mengatakan bahwa selama ada perbedaan dalam perkembangan berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan di dunia ini, maka selalu akan ada yang ‘tradisional’ dan yang ‘modern’. Dan dengan demikian yang ‘tradisional’ otomatis harus diakui karena pasti akan selalu ada.
Jelaslah, dari perspektif juridis, dan berdasarkan tafsir logis dari bunyi pasal di atas bahwa baik sifat kelengkapan sosial politik untuk pengurusan diri sendiri, maupun dari perspektif perkembangan peradaban di mana ada dikotomi ‘tradisional’ dan ‘modern’, masyarakat adat perlu diakui secara legal dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan Pancasila, UUD 1945 (sebelum maupun sesudah Amandemen), dan semboyan Negara Bhineka Tunggal Ika, maka persoalan pengakuan bersyarat dan hak kolektif perlu dikaji lebih jauh untuk menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia memang terdapat masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Urgensi dari adanya pengakuan legal dalam bentuk sebuah undang-undang tentang hak masyarakat adat terletak dalam penegasan hak-hak masyarakat dengan susunan asli untuk diakui, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara, terutama Pemerintah.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Pancasila adalah rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan Negara, sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjadi pedoman dan rujukan semua peraturan perundangan. Pengakuan atas keberagaman dicantumkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan bahwa ’Pembagian Daerah atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa’.
Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa ‘Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.
Ada empat aspek penting dalam penjelasan tersebut. Pertama, bahwa di Indonesia terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli. Istilah ’susunan asli’ tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau Zelfbesturende landschappen. Bahwa pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape) yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat dapat dilihat dari frasa yang menggabungkan istilah Zelfbesturende dan landschappen. Atinya, pengurusan diri sendiri tersebut berkaitan dengan sebuah wilayah.
Kedua, semua kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Keistimewaan ini dapat dirumuskan dengan mengatakan bahwa kelompok masyarakat tersebut mempunyai kelengkapan sistem pengurusan diri sendiri. Kelengkapan tersebut diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana dapat dilihat dari penamaan desa di Jawa sebagai sebuah dorpsrepubliek atau republik desa. Salah satu unsur kelengkapan pengurusan diri sendiri itu adalah adanya sistem peradilan, baik peradilan adat (inheemse rechtspraak) tercantum di dalam pasal 130 IS dan pasal 3 Ind. Staatsblad 1932 nomor 80, maupun peradilan desa (dorpsrechtspraak). Jelas bahwa istilah republik desa menunjukkan adanya pengakuan bahwa kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang termasuk dalam kategori Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen sudah memiliki sistem yang menyerupai negara. Tidak mengherankan bahwa dalam bagian Penjelesan Pasal 18 dicantumkan pula uraian yang bernada antisipatif bahwa ’Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “een heidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga’. Namun pernyataan ini tidak membatalkan unsur penghormatan oleh Negara Indonesia terhadap berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli tersebut.
Penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki susunan asli adalah aspek ketiga dalam bagian Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Bentuk dari penghormatan tersebut adalah aspek keempat, yaitu dengan mengingat hak asal-usul dari berbagai kelompok masyarakat yang dimaksud. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara melalui pembangunan nasional, hak asal-usul berbagai kelompok masyarakat tersebut jangan sampai diabaikan apalagi dengan sengaja dipaksahapuskan oleh pemerintah.
Dari perspektif ketatanegaraan, Pasal 18 UUD 1945 beserta Penjelasannya adalah uraian lebih jauh dari semboyan bhineka tunggal ika. Ke-bhineka-an terwujud dalam berbagai kelompok masyarakat dengan susunan asli. Bahwa susunan asli tersebut adalah sebuah sistem pengurusan diri sendiri yang bersifat lengkap untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak asal-usul. Dan bahwa penghormatan terhadap keberadaan masyarakat dengan susunan asli berada di pundak Negara dengan catatan bahwa susunan asli tersebut tidak membentuk sebuah Negara di dalam teritori Negara Republik Indonesia. Semua ini merupakan landasan menuju kepada pencapaian cita-cita kebangsaan, yaitu ke-tunggal-ika-an sebagai bangsa Indonesia.
Dengan kata lain, seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa dapat tercapai.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, unsur penghormatan terhadap masyarakat dengan susunan asli pernah mengalami distorsi yang tajam dengan upaya penyeragaman melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Bahwa ini merupakan sebuah kekeliruan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia pun sudah diakui oleh Negara sebagaimana dapat dilihat dalam bagian ‘Menimbang’ butir 5 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ‘bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti’.
Ketentuan | Pendekatan | Substansi | Tanggungjawab |
Pasal 18B ayat (2) | Tata Pemerintahan | Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. | – Negara mengakui dan menghormati.
– Selanjutnya diatur di dalam undang-undang |
Pasal 28I ayat (3) | Hak Asasi Manusia | Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. | Negara menghormati |
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) | Kebudayaan | (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilainilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. |
Negara menghormati dan menjamin kebebasan masyarakat |
- Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
- Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
Dalam banyak peraturan dan diskursus yang berkembang, rujukan tentang hak konstitusional masyarakat adat pertama-tama selalu merujuk kepada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. advokasi dan diksursus masyarakat adat lebih banyak pada level hak asasi manusia yang lebih sesuai dengan landasan konstitusional Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Sama dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga merupakan hasil dari amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000. Pasal 28I ayat (3) berbunyi:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Secara substansial, pola materi muatan dari Pasal 28I ayat (3) ini hampir sama dengan materi muatan Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi:
“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”
Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 ini adalah pendekatan HAM. Hal ini nampak jelas dalam sistematika UUD 1945 yang meletakkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan dengan hak-hak asasi manusia lainnya. Oleh karena itu, instansi pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam landasan konstitusional ini adalah Kementerian Hukum dan HAM.
- Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
Selain dua ketentuan di atas, ketentuan lain di dalam konstitusi yang dapat dikaitkan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat adalah Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 32 ayat (1)
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Pasal 32 ayat (2)
“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”
Kedua ketentuan ini tidak tidak terkait langsung dengan masyarakat adat atas sumber daya alam. Namun dalam kehidupan keseharian masyarakat adat, pola-pola pengelolaan sumber daya alam tradisional sudah menjadi budaya tersendiri yang berbeda dengan pola-pola yang dikembangkan oleh masyarakat industri. Pola-pola pengelolaan sumber daya alam inilah yang kemudian menjadi salah satu kearfian lokal atau kearifan tradisional masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional dalam melihat masyarakat dari dimensi kebudayaan. Hak yang diatur dalam ketentuan ini yaitu hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan kebudayaan dalam melihat adat istiadat dari masyarakat adat menjadi pendekatan yang paling aman bagi pemerintah karena resiko pendekatan ini tidak lebih besar dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Konstruksi Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak sekompleks ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena tidak diikuti dengan persyaratan-persyaratan konstitusional. Sehingga pendekatan ini lebih berkembang dibandingkan pendekatan lain dalam melihat masyarakat adat yang selama ini didukung oleh pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di dalam sistematika UUD 1945, ketentuan ini terletak dalam Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
3.1.3. Hak-Hak Masyarakat Adat dalam UU Sektoral
Beberapa undang-undang sektoral juga cukup banyak muatan aturan yang menjamin hak-hak masyarakat adat, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Agraria (UUPA). Undang-undang ini secara umum memberikan dasar hukum yang dapat digunakan untuk memberikan hak pengelolaan terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat adat. Misalnya, hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 ayat 4 (UUPA) yang berbunyi:
Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini mendelegasikan bahwa hak menguasai dari negara (atas bumi) pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Dengan demikian hak masyarakat adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari pendelegasian wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat adat yang bersangkutan. Walaupun dalam masyarakat hukum adat diposisikan sebagai bagian subordinat dari negara, dengan pernyataan Pasal 2 ayat 4 ini membuktikan bahwa keberadaan masyarakat adat tetap tidak dapat dihilangkan.
- Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera. Undang-undang ini menjamin sepenuhnya hak penduduk Indonesia atas wilayah warisan adat mengembangkan kebudayaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 6 (b) dinyatakan: “hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku budayanya”.
- Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 2 dari undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
- Undang-undang no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity). Dalam Pasal 8 mengenai konservasi dalam huruf j dikatakan “menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan pemanfaatan seara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya dalam Pasal 15 butir 4 dikatakan, bahwa akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).
- UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004 mengatur lebih tegas rumusan terkait masyarakat adat. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang lahir sebelum amandemen, UU No. 32 Tahun 2004 lahir setelah amandemen, sehingga substansi yang diaturnya banyak dipengaruhi oleh hasil amandemen UUD 1945. Salah satu pengaruh tersebut nampak dalam Pasal 2 ayat (9) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Bunyi ketentuan tersebut mirip dengan rumusan pengaturan yang ada dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Undang-undang ini juga mengatur soal pemilihan kepala desa atau nama lainnya untuk masyarakat desa. Pasal 202 ayat (3) menyebutkan:
“Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”
Mengembalikan sistem pemerintahan lokal dibuka dengan memberikan kewenangan kepada pemerintahan desa untuk dapat mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hak asal usul desa sebagaimana diatur dalam Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004. Empat kewenangan pemerintah desa yang diatur dalam Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut meliputi (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan-undangan diserahkan kepada desa.
- Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 1 ayat 6 dalam ketentuan umum dikatakan bahwa: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyatakat hukum adat, sehingga walaupun hutan adat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara, tetapi sebenarnya negara mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 dinyatakan, bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
- Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) merupakan undang-undang pertama yang dilahirkan oleh pemerintah untuk mengatur hak asasi manusia dalam cakupan yang lebih luas. UU ini lahir atas tuntutan penguatan kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM warga negara. Pembuatan UU HAM semakin dipercepat karena ada keinginan untuk menegaskan komitmen negara dalam perlindungan HAM yang selama Orde Baru sempat terabaikan. Substansi dari UU ini diambil dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Sejumlah ketentun yang dapat dikaitkan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat terlihat dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM yang berbunyi:
- a)Pasal 5 ayat (3) UU HAM
Setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
- b)Pasal 6 ayat (1) UU HAM
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah
- c)Pasal 6 ayat (2) UU HAM
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 5 ayat (3) UU HAM mengatur lebih luas bagi kelompok yang memiliki kekhususan. Masyarakat adat hanya salah satu kelompok yang memiliki kekhususan karena berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Perbedaan itu antara lain soal hubungan sosial, politik dan ekologis dengan alam. Selain masyarakat adat, kelompok masyarakat rentan yang memiliki kekhususan misalkan perempuan, anak-anak, kelompok tunarungu dan lain-lainnya. Kemudian Pasal 6 ayat (1) UU HAM mulai masuk mengidentifikasi masyarakat adat. Ketentuan ini menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan yang berbeda dari masyarakat adat yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Terakhir Pasal 6 ayat (2) UU HAM lebih spesfik menyebutkan jenis hak-hak masyarakat adat yang harus dilindungi oleh negera antara lain identitas budaya dan hak atas tanah ulayat.
- TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dikeluarkan pada tanggal 9 November 2001. TAP ini berisi perintah kepada Pemerintah untuk melakukan peninjauan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait sumber daya alam, menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam serta mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.[1]
- Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat adat atas hak ulayat. Pasal 6 ayat (2) UU Sumberdaya Air pada intinya mengatur bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali; totabuan diBolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak.
Sedangkan Pasal Pasal 6 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bwah Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Penjelasan ketentuan ini menyebutkan bahwa Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu :
- unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;
- unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
iii. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Pengaturan masyarakat adat dalam UU Sumber Daya Air menjabarkan pola pengakuan bersyarat dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UU ini dapat dikatakan sebagai undang-undang pertama setelah amandemen UUD 1945 yang memuat rumusan pengaturan sebagai penjabaran dari norma konstitusi berkaitan dengan masyarakat adat. Sehingga mudah dipahami bahwa rumusan pengaturannya sudah mulai mengikuti trend norma konstitusi berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
- Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang mewajibkan kepada pengusaha yang mengajukan permohonan hak atas satu wilayah tertentu untuk terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayat atas suatu wilayah. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.”
Ketentuan ini memposisikan kepentingan masyarakat adat atas suatu wilayah bukan sebagai hak yang harus diperkuat, melainkan sebagai hak yang harus dilepaskan dengan kompensasi ganti rugi. Dengan demikian hak masyarakat adat atas wilayah kehidupannya tidak menjadi hal yang utama, sebab yang lebih diutamakan adalah kepentingan perkebunan. Namun demikian terhadap hak masyarakat adat tersebut diberikan sejumlah ganti kerugian bila wilayahnya dijadikan wilayah konsesi perkebunan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dicantumkan persyaratan keberadaan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada bila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft);
- ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;
- ada wilayah hukum adat yang jelas;
- ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
- ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak alas tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas tanah. Dalam penjelasan umum UU Perkebunan juga memberikan perhatian terhadap hak ulayat masyarakat adat. Disana dikatakan bahwa pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan harus tetap memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional.
- UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Berbeda dengan undang-undang lainnya, UU ini tidak memberikan persyaratan bagi pengakuan masyarakat adat. Selain itu UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tidak menggunakan istilah masyarakat hukum adat sebagaimana kebanyakan peraturan perundang-undangan terkait dengan masyarakat adat, melainkan menggunakan istilah masyarakat adat. Definisi masyarakat adat yang dimaksud dalam undang-undang ini sejalan dengan definisi masyarakat adat yang dirumuskan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusatantara (AMAN).
Di dalam undang-undang ini didefinisikan Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
UU ini juga merumuskan tanggungjawab pemerintah untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Meskipun undang-undang ini dianggap lebih maju, namun undang-undang ini belum memiliki peraturan pelaksana terkait dengan impelementasi tanggungjawab negara terhadap masyarakat adat.