Komunitas Adat Cek Bocek Dikriminalkan di Atas Tanah Wilayah Adatnya Sendiri

CEK BOCEK MINTA KEADILAN: “POLRES SUMBAWA HARUS OBJEKTIF DALAM BERSIKAP”

Sumbawa, NTB — Belum selesai kasus yang menimpa Masyarakat Adat Pekasa, kini muncul persoalan baru menyangkut Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Re’en Suri dan perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT). Persoalan ini bermula dari aksi pemasangan plang Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 di wilayah adat Cek Bocek pada tanggal 8 September 2013.

Awal Ketegangan: Pemasangan Plang MK 35

Pemasangan plang bertuliskan “Ini Wilayah Hutan Adat Kami” memicu ketegangan karena mendapat penolakan dari PT. NNT. Meskipun sempat terjadi dialog antara pihak perusahaan dan warga adat agar plang tidak dipasang di area basecamp perusahaan, tokoh adat Anggo Zaenuddin dan pemuda adat Najib tetap melanjutkan aksi tersebut.

PT. NNT sempat mengusulkan pertemuan di rumah adat Cek Bocek, namun pertemuan tersebut tidak pernah terlaksana. Justru, media lokal melansir berita bahwa PT. NNT berinisiatif mengadakan pertemuan pada 19 September 2013—padahal pihak perusahaan sendiri yang tidak hadir.

Negosiasi Gagal dan Pemanggilan oleh Polisi

Beberapa hari kemudian, warga kembali mendatangi basecamp untuk berdialog. Di lokasi terjadi salah tafsir bahwa wilayah Dodo masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Lenangguar. Hal ini memicu ketegangan. Tak lama, Polres Sumbawa mengirim surat panggilan kepada Anggo Zaenuddin dan Najib sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana pengrusakan dan memasuki pekarangan tanpa izin, berdasarkan Pasal 406 (1) Jo. Pasal 335 (1) Jo. Pasal 167 (2) KUHP. Mereka diminta hadir pada 11 September 2013.

Keduanya menolak memenuhi panggilan tersebut dengan alasan bahwa sebelumnya, Komunitas Cek Bocek telah mengajukan laporan resmi kepada Kapolres Sumbawa melalui surat No. 052/Komunitas Adat Cek Bocek/VIII/2011 tertanggal 2 Agustus 2011, tentang permohonan penertiban aktivitas illegal mining PT. NNT di atas wilayah adat mereka. Namun hingga saat itu, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti.

Sikap Komunitas dan Dukungan AMAN

Pak Anggo bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan konferensi pers menanggapi pemanggilan tersebut. Pernyataan sikap mereka dimuat dalam koran Gaung NTB edisi Jumat, Oktober 2013, dengan tajuk besar:
“CEK BOCEK DAN AMAN SUMBAWA MINTA KEADILAN HUKUM.”
Isi pemberitaan menegaskan bahwa Kapolres harus memproses laporan Cek Bocek lebih dulu sebelum meminta keterangan dari mereka. Jika tidak, mereka akan mengadukan masalah ini ke Kapolda dan Mabes Polri.

Tak lama setelah konferensi pers, penyidik Polres kembali menghubungi PD AMAN Sumbawa menanyakan alasan penolakan. Jawaban tetap sama: proses dulu laporan yang diajukan oleh masyarakat adat.

Setelah dilakukan penelusuran oleh tim advokasi, akhirnya ditemukan kembali arsip redaksi surat dari Kapolres Sumbawa tahun 2011, AKBP Kurnianto Purwoko, yang saat itu menyatakan belum mengetahui lokasi aktivitas tambang PT. NNT yang dimaksud: apakah di basecamp Dodo atau di camp Lamurung.

Rapulung Adat dan Kesimpulan Sikap Komunitas

Merespon eskalasi ini, PD AMAN Sumbawa bersama Komunitas Adat Cek Bocek menggelar Rapulung Adat pada Selasa, 15 Oktober 2013. Rapat tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan penting:

  1. Mendesak Kapolres Sumbawa menghentikan aktivitas PT. NNT karena menciptakan konflik sosial dan tidak menghormati mekanisme adat.

  2. Menuntut Kapolres menindaklanjuti laporan Komunitas Cek Bocek tahun 2011, agar penegakan hukum tidak hanya berpihak kepada perusahaan.

  3. Mendesak penetapan PT. NNT sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran HAM berat terkait pengeboran di situs makam leluhur Komunitas Adat Cek Bocek.

  4. Menuntut PT. NNT agar mentaati UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya Pasal 135 yang mensyaratkan adanya persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

  5. Menuntut Kapolres mencabut ucapannya bahwa Keputusan MK 35 hanya berlaku untuk tiga komunitas adat saja.

Kabar Terkait