Perbincangan mengenai eksistensi masyarakat adat selalu menjadi topik yang menarik dan tidak jarang menimbulkan perdebatan, terutama jika keberadaan masyarakat adat bersama hak-haknya kemudian diperhadapkan dengan negara/pemerintah. Dari sekian banyak hak masyarakat adat, hak atas pengelolaan sumber daya alam menjadi topik yang menarik karena sumber daya alam memiliki peran yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat adat. Banyak masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang ada di wilayah kediamannya. Mereka hidup secara tradisional yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar dari alam sekitarnya. Pendapatan masyarakat adat sebagian besar, bahkan ada juga yang seluruhnya, berasal dari mengumpulkan atau memproses sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, sumber daya alam merupakan bagian menyeluruh dari kehidupannya, tidak hanya terbatas sebagai aset ekonomi semata.
Masyarakat adat memelihara hubungan sejarah dan hubungan kerohanian dengan sumber daya alamnya di wilayah di mana masyarakat adat tersebut hidup. Jika sumber daya alam terusik, apalagi terasingkan oleh negara/pemerintah atau pihak ketiga, maka yang akan terancam bukan hanya kehidupan ekonomi dari masyarakat adat tersebut saja, tetapi juga keseluruhan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hak untuk hidup, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak atas kesehatan, dan berbagai hak asasi manusia lainnya akan ikut dilanggar ketika masyarakat adat secara tidak adil dipisahkan dari sumber daya alamnya yang secara turun-temurun telah menjadi sumber penghidupan.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai ruang lingkup sumber daya alam yaitu meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal ini juga mengatur tentang ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak menguasai negara tersebut bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ideologi hak menguasai negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Menurut I Nyoman Nurjaya, ketentuan bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut seharusnya bermakna kerakyatan dan patut ditafsirkan memberi hak kepada rakyat untuk menikmati sumber daya alam, agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga, jika ada usaha pemerintah untuk menjadikan sumber daya alam sebagai sumber devisa dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional, maka kesejahteraan untuk rakyat tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Apalagi jika kemudian rakyat diusir dari sumber daya alamnya dengan dalih legitimasi hukum yang diberikan kepada pemegang izin HPH atau kuasa pertambangan yang dianggap memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut.
Salah satu asas yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional adalah asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Ini berarti bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum, termasuk masyarakat adat, harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas. Pelaksanaan hak masyarakat adat harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Adanya tuntutan untuk memprioritaskan kepentingan nasional serta inkonsistensi peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam seringkali menyebabkan masyarakat adat menjadi pihak yang paling sering dirugikan.
Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai HAM memiliki cakupan yang luas. Tidak hanya hak untuk mengelola sumber daya alamnya, tetapi juga hak bagi masyarakat adat untuk memperoleh perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut sehingga keberlangsungan hidup mereka pun akan tetap terjamin. Dalam ketentuan menimbang butir b Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) disebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi atau dirampas oleh siapapun (termasuk oleh negara/pemerintah). Dengan menjadikan masalah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai isu keadilan dan HAM, maka dapat diklaim bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam sama seperti pihak-pihak lainnya dan negara/pemerintah bertanggung jawab untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun sayangnya, seringkali masyarakat adat tersingkir ketika negara/pemerintah dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dengan alasan kepentingan nasional. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat tidak seimbang dengan keuntungan yang didapat oleh negara/pemerintah. Bahkan tidak jarang, alih-alih mendapatkan kompensasi, keberadaan masyarakat adat malahan tidak diakui oleh negara/pemerintah. Di tengah himpitan globalisasi, privatisasi, dan otonomi daerah, hak-hak masyarakat adat, termasuk hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat terancam. Dalam banyak kasus, masyarakat adat berada dalam posisi tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum. Mereka kesulitan untuk membela hak-haknya karena faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Masyarakat adat sering dicap sebagai perusak lingkungan, kelompok masyarakat terbelakang, kuno, dan berbagai stigma negatif lainnya terkait aktivitas kehidupan sehari-harinya yang memanfaatkan sumber daya alam. Masyarakat adat juga sering dipandang sebagai kelompok masyarakat penghambat pembangunan ketika mereka berusaha memperjuangkan hak-haknya atas sumber daya alam.
Posisi masyarakat adat yang lemah secara politik dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha swasta maupun pemerintah mengakibatkan pengambilalihan sumber daya alam dengan mudahnya oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum yang adil, atau bahkan tanpa kompensasi apapun. Sebagai contoh adalah kasus antara PT Freeport McMoran Indonesia dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah adat. Bukannya mendapatkan keuntungan dari adanya PT Freeport di wilayahnya, masyarakat adat justru tersingkir dan hak-hak mereka dilanggar. Pelanggaran yang mereka alami adalah pelanggaran hak atas kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar hidup yang layak, hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental, serta masih banyak hak lainnya, dimana hak-hak tersebut adalah merupakan HAM.
Menurut Daes, permasalahan umum yang dihadapi oleh masyarakat adat sehubungan dengan hak atas sumber daya alam mereka adalah: kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah, dan sumber daya alam; hukum dan kebijakan diskriminatif yang berdampak pada masyarakat adat dalam hubungan dengan tanah dan sumber daya alam mereka; kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk memberi batas untuk tanah adat; dan kegagalan atau keengganan negara/pemerintah untuk melaksanakan atau menerapkan hukum yang melindungi tanah masyarakat adat.
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat dalam berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Berbagai peraturan tersebut mengatur dan memaknai sumber daya alam dalam berbagai spektrum: dari pemahaman yang sempit, sebagai komoditi atau faktor produksi, hingga pemahaman sebagai ekosistem yang utuh.
Hak-hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban yang lain. Hak yang mendasar itu melekat kuat dengan jati diri kemanusiaan manusia. Siapa pun manusianya berhak memiliki hak tersebut. Berarti, di samping keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk bisa mengerti, memahami, dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.
Konsep HAM tidak sama seperti konsep hak lainnya. Dalam diri manusia melekat hak hidup, kebebasan, integritas pribadi, dan lain-lain yang niscaya perlu dalam rangka mengartikulasikan kehidupannya sesuai kodratnya secara bermartabat. HAM adalah klaim dari rakyat/warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhi apa yang menjadi hak-hak asasinya. Dalam teori politik hukum dikenal adanya dua jenis konsep hak berdasarkan asal usulnya, yaitu hak berian dan hak bawaan. Hak berian yaitu berupa pelimpahan wewenang. Sedangkan hak bawaan adalah hak yang mempunyai sifat melekat dan tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Hak bawaan inilah yang ada pada masyarakat adat. Penghilangan atau pencerabutan secara paksa atas hak yang melekat menyebabkan bubarnya masyarakat sebagai sebuah komunitas yang mampu mengurus dirinya sendiri. Seluruh daya untuk hidup dari masyarakat tersebut akan hilang, bahkan dapat menyebabkan hilangnya identitas masyarakat adat.
Hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam sangat terkait dengan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hal ini berarti, jika hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam dilanggar maka bisa jadi keberadaan masyarakat adat tersebut akan hilang. Dilanggarnya hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam membuat masyarakat kehilangan haknya untuk hidup secara layak. Ketika masyarakat adat dipisahkan dari sumber daya alamnya, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Akses terhadap sumber daya alam yang tertutup membuat masyarakat adat kehilangan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, kehilangan kesempatan dalam kebudayaan karena tidak dapat melakukan ritual-ritual adatnya, serta kehilangan kesempatan untuk menikmati hidup yang sehat baik secara fisik maupun mental. Eksploitasi sumber daya alam dengan dukungan negara/pemerintah acapkali memarginalkan posisi masyarakat adat.
Sesungguhnya tiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan, dan apapun bentuknya yang mengakibatkan tersingkirnya hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam merupakan pelanggaran terhadap hak mereka, yakni HAM. Oleh sebab itulah, hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan HAM.