Senggigi, NTB, 11/7 (ANTARA) – Kepala Adat Suku Cek Bocek Selesek Reen Sury, Dato Sukanda, menegaskan, rencana pemberian ijin operasi pertambangan skala besar dari perusahaan internasional di wilayah adat suku itu di Pulau Sumbawa sangat mengancam kelestarian lingkungan, ekosistem, dan nilai-nilai sosial adat mereka.
Wilayah Adat Cek Bocek, katanya, di Senggigi, NTB, Senin, secara keseluruhan dikelola oleh komunitas, baik untuk penyangga keseimbangan lingkungan dan ekosistem, juga untuk sumber kehidupan sehari-hari dari hasil berburu, mencari madu dan membuat gula aren (jalit).
Komunitas adat Cek bocek Suku Berco di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, NTB, merupakan penduduk Sumbawa bagian selatan yang paling tua. Kawasan vegetasi hutan ini tidak mengalami gangguan meskipun sudah ratusan tahun berdampingan dengan pemukiman komunitas.
Sukanda memimpin masyarakat komunitas adatnya menyampaikan aspirasi di Senggigi, di sela Konferensi Internasional Tenural, Pengaturan, dan Pengusahaan Hutan. Wakil Presiden Boediono dijadualkan membuka konferensi yang dihadiri 250 para ahli, agen pemerintahan, LSM, dan anggota komunitas serta para pengusaha di bidang kehutanan.
“Karena komunitas sudah membagi-bagi kawasan hutan berdasarkan fungsinya khususnya berfungsi sebagai penyangga kehidupan ekosistem,” katanya.
Komunitas adat Cek Bocek telah melakukan pemetaan wilayah-nya secara partisipatif. Inisiatif ini dilakukan untuk membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan tata ruang dan sebagai alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, lingkungan hidup dan ekosistem wilayah.
Pemerintah, katanya, harus mengakui tanah ulayat/wilayah adat kami seluas 28.975.74 Hektare yang merupakan titipan leluhur, dan harus dilestarikan, di kelola untuk masa kini dan yang akan datang.
Mereka juga menuntut negara mengakui keberadaan kami sesuai pasal 18b ayat 2 dan 28i ayat 1 UUD 1945. Pemerintah Indonesia untuk segera menghapuskan/revisi UU sektoral yang mengancam eksistensi wilayah adat kami, seperti UU Nomor 41/1999 Tentang Kehutanan.
“Pemerintah Indonesia segera membuat Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat,” katanya.
96 persen dari sekitar 25.000 Hektare wilayah adat suku itu masih merupakan vegetasi hutan. Dengan demikian upaya pengembangan wilayah dapat mencapai tujuan untuk memberi kesejahteraan komunitas masyarakat adat tanpa harus mengorbankan kualitas lingkungan hidup.
Namun kini muncul ancaman besar yang tengah mengintai, yakni pertambangan skala besar. Pertambangan sekala besar di wilayah adat Cek Bocek akan mengancam keseimbangan lingkungan, ekosistem dan sosial-budaya.
“Hal ini terkait penandatangan MoU antara Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa dengan PT NNT pada 11 MeiĀ 2011. Kesepakatan ini berisi tentang tindak lanjut kegiatan eksplorasi di Blok Elang Dodo,” katanya.
Lokasi tersebut merupakan wilayah adat Cek Bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco.
“Karena itu kami menolak keras rencana eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat kami sebelum ada persetujuan dan kesepahaman yang jelas tentang bentuk pengelolaannya,” kata Sukanda.
Jika rencana ini tetap diteruskan, kami yakin akan terjadi pelanggaran berat HAM. Selain itu pihak pemerintah daerah harus menghormati dan menghargai warisan leluhur hak-hak masyarakat adat.
Dan rencana tersebut harus menghormati dan mengacu serta tidak bertentangan dengan Tata Ruang Wilayah Khusus Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Reen Suri.
Perlu juga kami sampaikan disini, bahwa seluruh rangkaian pemetaan wilayah dan penyusunan perencanaan tata ruang khusus wilayah adat Cek Bocek bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat adat.