Rencana Tata Ruang Khusus Wilayah Adat Cek Bocek Selesek Rensuri merupakan upaya strategis untuk menata ruang hidup masyarakat adat Suku Berco secara partisipatif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Wilayah adat ini terletak di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mencakup area seluas 28.975,74 hektar, dengan karakteristik biofisik khas seperti tutupan hutan primer yang luas, keberadaan 10 aliran sungai utama, serta lanskap pegunungan dengan ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini juga memainkan peran penting sebagai kawasan tangkapan air di dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Lang Remung, Babar, Lampit, Presa, dan Sengane.
Sebagai ruang hidup turun-temurun, masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri memiliki sistem nilai, praktik pengelolaan sumber daya, dan struktur kelembagaan adat yang terbukti menjaga kelestarian lingkungan serta menjamin ketahanan sosial dan budaya. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga bertujuan untuk mengintegrasikan aspek-aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi ke dalam satu kesatuan perencanaan yang utuh.
Namun, dalam proses pengelolaan wilayah adat, terdapat sejumlah tantangan dan ancaman yang kompleks. Di antaranya adalah tekanan dari ekspansi konsesi pertambangan dan perkebunan skala besar yang berpotensi mengancam keberlanjutan ekosistem serta merampas hak ulayat masyarakat. Di sisi lain, perubahan iklim global juga meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap wilayah adat, rendahnya akses terhadap layanan publik, serta kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam proses perencanaan pembangunan menjadi faktor struktural yang turut memperlemah posisi tawar masyarakat adat di hadapan negara dan pasar.
Oleh karena itu, penyusunan Rencana Tata Ruang Khusus ini menjadi sangat penting untuk memperkuat posisi masyarakat adat sebagai subjek utama pembangunan, sekaligus melindungi ruang hidup mereka dari eksploitasi yang merusak. Dokumen ini diharapkan menjadi acuan dalam menyelaraskan tata ruang adat dengan kebijakan tata ruang Kabupaten, Provinsi, hingga Nasional, serta mendorong hadirnya kebijakan yang berpihak pada perlindungan hak-hak masyarakat adat dan konservasi sumber daya alam.
Dengan mengedepankan pendekatan berbasis kearifan lokal, partisipasi aktif masyarakat, dan prinsip keadilan ekologis, rencana ini diharapkan mampu membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, adil, dan bermartabat bagi komunitas adat Cek Bocek Selesek Rensuri serta generasi mendatang.
Klik untuk melihat dokumen lengkap
Suarakan solidaritas Anda untuk menolak eksploitasi, mendesak perlindungan hukum, dan menghormati hak masyarakat adat atas tanah warisan leluhur mereka.
Suku Berco, masyarakat adat dengan akar nomaden di Goa Kongkar Dodo, bertransformasi lewat penyatuan Islam dan tradisi lokal. Di bawah kepemimpinan Dewa Datu Awan Mas Kuning dan Cek Bocek, mereka membangun kemandirian adat, lawan intervensi asing, dan pertahankan identitas hingga kini. Kisah mereka adalah bukti ketangguhan budaya yang tak lekang zaman.
Suku Berco, masyarakat adat dengan akar nomaden di Goa Kongkar Dodo, bertransformasi lewat penyatuan Islam dan tradisi lokal. Di bawah kepemimpinan Dewa Datu Awan Mas Kuning dan Cek Bocek, mereka membangun kemandirian adat, lawan intervensi asing, dan pertahankan identitas hingga kini. Kisah mereka adalah bukti ketangguhan budaya yang tak lekang zaman.
Komunitas Masyarakat adat Cek Bocek, hingga saat ini masih menjalankan ritual-ritual adat yang tidak pernah hilang dari generasi ke generasi, ritual tetap dijaga sebagai warisan budaya dari para leluhur senantiasa mendapat penghormatan yang setinggi-tingginya dalam hati setiap warga masyarakat tradisional ini.      Â
Rencana Tata Ruang Khusus Cek Bocek Selesek Rensuri mengatur ruang hidup Suku Berco (28.975,74 ha di Sumbawa, NTB) secara partisipatif dan berkelanjutan. Kawasan dengan hutan primer, 10 sungai, dan pegunungan penangkap air lima DAS ini menghadapi ancaman tambang, perkebunan, dan perubahan iklim. Melalui kearifan lokal, rencana ini memperkuat hak adat, melindungi ekosistem, dan menyelaraskan kebijakan untuk keberlanjutan lingkungan dan martabat masyarakat.
Bagi kami, tanah adat adalah tubuh, leluhur adalah jiwa, dan perjuangan adalah nafas kehidupan