Komunitas Masyarakat adat Cek Bocek, hingga saat ini masih menjalankan ritual-ritual adat yang tidak pernah hilang dari generasi ke generasi, ritual tetap dijaga sebagai warisan budaya dari para leluhur senantiasa mendapat penghormatan yang setinggi-tingginya dalam hati setiap warga masyarakat tradisional ini.      Â
Prosesi Jango Kubur Leluhur di kawasan Lawang Sasi
Setiap awal Syawal, komunitas Cek Bocek melaksanakan Jango Kubur Leluhur untuk menghormati para leluhur yang mewariskan ilmu, nilai, dan wilayah adat. Ritual ini juga mempererat silaturahmi anggota masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah.
Sehari sebelumnya, warga berkumpul di pemukiman Lawin untuk bermalam dan bersilaturahmi. Perempuan menyiapkan perbekalan, sementara laki-laki mempersiapkan perjalanan ziarah.
Pukul 04.00 dini hari, rombongan dipimpin Kepala Suku berangkat ke makam Dewa Datu Awan Mas Kuning di Lawang Sasi. Prosesi meliputi doa khusus dan pembersihan makam, kemudian dilanjutkan ke makam Langir dan Suri.
Tahapan Ritual Jango Kubur Leluhur | ||
---|---|---|
Waktu | Aktivitas | Lokasi |
H-1 (Sore-Malam) | Berkumpul dan menginap di pemukiman Lawin | Pemukiman Lawin |
04.00 Pagi | Keberangkatan menuju makam leluhur | Lawang Sasi |
10.00 Pagi | Doa dan pembersihan makam | Makam Dewa Datu Awan Mas Kuning |
Siang Hari | Ziarah ke makam lainnya | Makam Langir dan Suri |
Sore-Malam | Bermalam bersama dan berbagi cerita | Kawasan Dodo |
Hari Berikutnya | Perburuan rusa tradisional | Wilayah sekitar |
Ritual Jango Kubur Leluhur tidak hanya menjadi ajang spiritual dan sosial, tetapi juga memperkuat kesadaran akan asal-usul. Sebagian besar anggota komunitas masih memiliki hubungan kekerabatan hingga generasi ke-7. Sebagai komunitas Muslim sejak masa Dewa Datu Awan Mas Kuning, beberapa elemen ritual telah mengalami penyesuaian agar selaras dengan nilai-nilai keislaman, terutama dalam hal sesaji.
Ilustrasi prosesi ritual pemanggilan hujan di Tihu Maring
Di awal Desember menjelang musim tanam, jika hujan tak kunjung datang, masyarakat mengadakan ritual pemanggilan hujan setelah musyawarah menentukan hari baik.
Persyaratan ritual meliputi kembang 7 rupa, 7 ekor ayam putih, dan minyak khusus dari pawang/sandro. Pawang hujan turun-temurun memimpin dengan peralatan utama “tampah”.
Prosesi dimulai pukul 4 pagi dengan perjalanan sehari menuju Tihu Maring di kawasan Dodo. Peserta bermalam di lokasi sebelum ritual esok paginya.
Pukul 6 pagi peserta membentuk lingkaran di Tihu Maring dipimpin pawang hujan, diawali dengan mantra berbahasa Berco selama 30 menit untuk memanggil roh leluhur.
Pawang menaburkan kembang 7 rupa setelah “berkomunikasi” dengan leluhur secara batin untuk meminta bantuan.
5 orang memegang tampah yang kemudian bergoyang dan berputar, lalu terbang setinggi 4 meter selama 5 menit sebagai tanda terkabulnya permohonan.
7 ekor ayam putih dilepaskan setelah tampah turun kembali, diikuti doa penutup dan uluk salam kepada leluhur.
Dalam perjalanan pulang ke Lawin, hujan deras biasanya mulai turun sebagai pertanda keberhasilan ritual. Hari-hari berikutnya akan terus diiringi hujan deras, yang diyakini sebagai berkah dari penguasa alam semesta dan leluhur yang telah membantu permohonan masyarakat.
Timeline Ritual Pemanggilan Hujan | ||
---|---|---|
Waktu | Aktivitas | Keterangan |
H-1 | Musyawarah penentuan hari baik | Disepakati oleh masyarakat dan pawang |
04.00 Pagi | Perjalanan ke Tihu Maring | Ditempuh dengan berjalan kaki sehari penuh |
Sore-Malam | Bermalam di lokasi | Persiapan mental dan fisik untuk ritual |
06.00 Pagi | Ritual inti pemanggilan hujan | Mantra, penaburan bunga, tarian tampah |
Siang Hari | Pulang ke pemukiman | Hujan deras biasanya mulai turun |
Ilustrasi ritual Nabar di pintu gerbang pemukiman
Ritual perlindungan untuk menangkal musibah dan gangguan gaib, khususnya dilakukan ketika diperkirakan akan datang bahaya besar terhadap masyarakat.
Persyaratan utama meliputi seekor ayam putih, ramuan khusus dari kepala suku, dan pelaksanaan di pintu gerbang pemukiman sebagai titik perlindungan.
Seiring perkembangan zaman, ritual ini semakin jarang dilakukan dan hanya dilaksanakan dalam situasi yang benar-benar dianggap darurat oleh masyarakat.
Ritual dilaksanakan di pintu gerbang pemukiman sebagai benteng pertahanan simbolis terhadap ancaman dari luar.
Kepala suku memotong ayam putih dan menampung darahnya untuk dicampur dengan ramuan khusus.
Campuran darah dan ramuan dioleskan di kening seluruh warga sebagai perlindungan simbolis.
Kepala ayam dikubur di bawah jalan gerbang masuk sebagai penjaga spiritual wilayah.
Ritual Nabar berfungsi sebagai sistem pertahanan spiritual masyarakat Suku Berco terhadap ancaman gaib. Pengolesan darah simbolis melambangkan perlindungan menyeluruh, sementara penanaman kepala ayam di gerbang dimaknai sebagai penjaga gaib yang akan mengusir roh jahat sebelum memasuki pemukiman.
Urutan Pelaksanaan Ritual Nabar | ||
---|---|---|
Tahapan | Proses | Makna Simbolis |
Persiapan | Musyawarah penentuan kebutuhan ritual | Pengambilan keputusan kolektif atas ancaman |
Penyembelihan | Pemotongan ayam putih oleh kepala suku | Pengorbanan untuk perlindungan bersama |
Pencampuran | Darah ayam dicampur ramuan khusus | Penyatuan kekuatan spiritual |
Aplikasi | Pengolesan di kening warga | Perlindungan individual |
Penanaman | Kepala ayam dikubur di gerbang | Penjagaan wilayah pemukiman |
Persiapan ritual perburuan tradisional Suku Berco
Dilaksanakan menjelang tutup tahun sebagai bentuk hiburan dan olahraga tradisional yang mempererat kekerabatan warga komunitas adat.
Setiap warga dengan anjing pemburu berkumpul untuk musyawarah menentukan lokasi buruan, titik pertemuan, dan durasi perburuan yang biasanya berlangsung beberapa hari.
Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman Dewa Datu Awan Mas Kuning dengan menggunakan 4-6 ekor anjing terlatih berbadan tegap sebagai pembantu utama.
Pemburu mengandalkan anjing untuk menemukan dan mengejar rusa di medan berbukit yang menantang.
Proses pengejaran bisa memakan waktu hingga 2 jam hingga rusa kelelahan dan terdesak di lembah.
Pemburu melemparkan tombak ke leher atau dada rusa yang sudah dikelilingi anjing-anjing.
Biasanya terdiri dari 2 orang pemburu dengan 5-6 ekor anjing pemburu yang terlatih.
Rusa hasil buruan dibawa ke pemukiman Lawin untuk diolah oleh kaum wanita. Proses ini menjadi bagian penting dari ritual dimana seluruh komunitas berkumpul untuk menikmati hasil buruan bersama, memperkuat ikatan sosial dan tradisi turun-temurun.
Tahapan Ritual Perburuan | ||
---|---|---|
Fase | Aktivitas | Keterangan |
Persiapan | Musyawarah dan penentuan lokasi | Dilakukan oleh pemilik anjing pemburu |
Pengejaran | Anjing menggiring rusa | Bisa berlangsung hingga 2 jam |
Penangkapan | Pemburu melemparkan tombak | Target leher atau dada rusa |
Pengolahan | Kaum wanita mengolah hasil buruan | Di pemukiman Lawin |
Perayaan | Bersama seluruh komunitas | Mempererat kekerabatan |
Hingga masa kepemimpinan Datu Sukanda RHD, struktur kepemimpinan masyarakat adat tetap terjaga, dengan beliau sebagai pemimpin generasi ketujuh. Wilayah adat sebagai ruang hidup komunitas tidak mengalami perubahan berarti, baik batas wilayah maupun tatanan sosial-budaya. Lembaga adat dan norma-norma tradisional masih dijalankan sebagaimana diwariskan, dan hutan adat tetap lestari sebagai penopang utama kehidupan.
Dalam perjalanan sejarahnya, komunitas ini meninggalkan berbagai jejak historis yang masih dapat dijumpai, seperti pondasi bangunan masjid, balai adat, rumah tinggal, serta kompleks makam tua dengan nisan batu kali yang menunjukkan usia ratusan tahun. Makam-makam ini hingga kini tetap dijaga oleh para keturunan.
Setiap bulan Syawal, masyarakat melaksanakan ziarah ke makam leluhur, diawali dari makam Dewa Datu Awan Mas Kuning di Lawang Sasi, lalu ke makam para Datu lainnya. Dalam bahasa Berco, ritual ini dikenal sebagai Jango Kubur Leluhur, yang menjadi wadah penghormatan serta penguat ikatan kekeluargaan antaranggota komunitas yang tersebar.
Jejak sejarah masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensuri tersebut kini hadir sebagai situs-situs warisan budaya yang tak hanya simbolis, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan tentang dinamika sosial-budaya masyarakat dari masa ke masa.
Nisan Makam Datu M Hatta di Suri
Membersihkan Makam Datuk Usman (Pua Adat) di Langir
Pemakaman tua ditandai oleh tumpukan batu-batuan kali yang membentuk persegi panjang dengan ukuran 1 x 2 meter (untuk tiap makam/kubur). Jadi untuk tiap komplek pemakaman dapat dengan mudah dibedakan dengan areal lainnya, karena akan terlihat sebuah hamparan dengan batu-batu kali yang membentang membentuk kotak-kotak dengan nisan-nisan dari batu bulat panjang, dan masih dapat terlihat sebagai batu berukir.
Makam Leluhur Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Rensuri | |||
---|---|---|---|
Nama Makam | Jumlah Nisan | X (UTM 50S) | Y (UTM 50S) |
Aho | 80 | 541784 | 9011384 |
Bakal Bila | 50 | 543047 | 9010024 |
Bera | 95 | 542919 | 9011288 |
Dodo Aho | 70 | 542718 | 9013718 |
Dodo Baha 1 | 100 | 542714 | 9009874 |
Dodo Baha 2 | 90 | 542780 | 9009689 |
Kesek | 80 | 542272 | 9010278 |
Kuda Mati | 75 | 545758 | 9011346 |
Langir | 60 | 543565 | 9015048 |
Lawang Sasi | 5 | 543490 | 9015317 |
Pesur | 70 | 543876 | 9013400 |
S. Kedit | 300 | 544046 | 9009159 |
S. Selesek | 120 | 545383 | 9012263 |
Suri | 120 | 543627 | 9015187 |
Tampung | 100 | 545876 | 9011545 |
Tungku Sudat | 110 | 544955 | 9011635 |
JUMLAH | 1525 | ||
Sumber Data : Survey Lapangan Partisipatif masyarakat |
Turap dari tumpukan batu kali pada bagian pondasi bekas bangunan balai adat di Dodo baha
Pemukiman Suku Berco terdiri dari 7 situs yang masih teridentifikasi dengan jelas berdasarkan survei dan informasi dari Parenta Ne’ Adat.
Rumah panggung tradisional dengan tiang kayu setinggi 1,5-2 meter yang didirikan di atas tumpukan batu sebagai pondasi.
Batu kali digunakan sebagai turap di lereng untuk mencegah longsor dan sebagai struktur pendukung bangunan.
Kompleks pemakaman terletak dekat pemukiman dengan makam anak-anak di halaman belakang rumah.
Sebanyak 50 makam anak-anak berusia di bawah lima tahun telah teridentifikasi di lokasi pemukiman ini menurut Pak Nasir Hasan.
Lokasi Kampung Lama Masyarakat Adat | |||
---|---|---|---|
Nama Kampung | Ketinggian | X (UTM 50S) | Y (UTM 50S) |
Karang Bakal Bila | 350 – 375 m | 543062 | 9010201 |
Kampung Mattang Kesek | 400 – 425 m | 542336 | 9009951 |
Kokar dodo | 400 – 425 m | 542598 | 9012668 |
Karang Bera | 425 – 450 m | 542861 | 9011470 |
Karang Aho | 650 – 700 m | 541645 | 9011546 |
Karang Selesek | 650 – 700 m | 545596 | 9012550 |
Karang Lang Lede | 750 – 800 m | 545877 | 9011079 |
Sumber Data : Survey Lapangan Partisipatif masyarakat |
Setiap kampung lama memiliki karakteristik unik dalam tata letak dan struktur bangunan. Pemukiman di daerah lebih tinggi (700-800 mdpl) menunjukkan teknik konstruksi yang lebih kompleks dengan sistem turap batu yang lebih masif untuk menahan lereng curam.
Di sekitar pemukiman dijumpai tanda-tanda lahan pertanian kuno yang dicirikan oleh tanaman budidaya seperti kelapa, nangka, dan aren yang telah tumbuh mencapai 20 meter, menyerupai vegetasi hutan alami.
Sebaran lahan budidaya mengikuti aliran Sungai Dodo dari hulu ke hilir, dengan pola pemukiman yang berkembang seiring pembukaan lahan.
Leluhur Suku Berco hanya mengolah lahan dengan kelerengan <40%, meninggalkan lereng terjal sebagai hutan primer yang masih terjaga hingga kini.
Di jalur punggungan Bukit Kuda Mati ditemukan tegakan kayu besar (diameter ±60 cm) dan dominasi tanaman rotan di bekas lahan budidaya.
Lahan Budidaya Leluhur Masyarakat Adat Suku Berco | ||
---|---|---|
Bekas Lahan | Luas (Ha) | Persentase |
Bekas Kebun | 4,138.34 | 92.85% |
Bekas Ladang | 318.52 | 7.15% |
Jumlah Total | 4,456.86 | 100.00% |
Total luas lahan budidaya di sekitar Kongkar Dodo |
Bekas lahan pertanian kini telah berubah menjadi belukar dengan diameter pohon mencapai 20 cm. Di beberapa area, terutama yang terjal dengan kemiringan >40%, masih ditemukan tutupan vegetasi hutan primer. Pola ini menunjukkan kearifan ekologis leluhur Suku Berco dalam memilih lahan yang sesuai untuk budidaya tanpa merusak ekosistem sensitif.
Bagi kami, tanah adat adalah tubuh, leluhur adalah jiwa, dan perjuangan adalah nafas kehidupan