SEJARAH KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT CEK BOCEK SELESEK RENSURI (SUKU BERCO)
Perjalanan sejarah Suku Berco yang mendiami lokasi Kongkar Dodo dan sekitarnya, pada awalnya merupakan satu komunitas kecil yang mendiami goa-goa sebagai tempat berlindung. Kelompok orang-orang tersebut merupakan penduduk asli di wilayah ini dan menurut pengakuan nara sumber, mereka disebut “orang Bajompang”. Berbagai kejadian baik secara alami maupun yang dipengaruhi dari luar, memaksa orang-orang Bajompang harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dalam wilayah kongkar Dodo. Pengaruh dari luar lebih menceriterakan perjalanan sejarah yang juga menggambarkan perjuangan seorang tokoh yang sedang melakukan syiar Agama Islam, yang setelah singgah dan menetap di wilayah ini. Karena kepandaiannya kemudian tokoh ini diangkat sebagai Pimpinan Adat bagi komunitas suku Berco dikawasan kongkar Dodo dan sekitarnya.
2.1. Sejarah Suku Berco
Pada abad ke 14 di wilayah Nusantara sedang aktifnya perdagangan dan penyebaran Agama Islam, dimana pedagang-pedagang Gujarat dari Timur Tengah melakukan pelayaran melalui Samudera Pasai. Sambil berniaga, pedagang Gujarat juga melakukan syiar Islam di setiap wilayah yang disinggahi. Pada masa itu banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara juga melakukan hal yang sama ke wilayah lain. Singkat kata, bahwa di Pulau Sumbawa juga menjadi sasaran perdagangan dan syiar Islam baik dari arah pantai selatan maupun pantai utara.
Tahun 1492: Datu Awan Mas Kuning datang ke Sumbawa
Pada tahun 1492, Kapal layar Gili Koana yang di nakodai oleh Dewa Datu Awan Mas Kuning (dengan membawa anak buah kapal yang berasal dari Suku Malayu, Suku Plowe Timur, Surabaya Huja, Selaparang dan Lahat Sumatera Selatan) singgah di pantai selatan Pulau Sumbawa. Kapal layar Gili Koana pertama kali menyandar di Tanjung Senare (Telok Sedo Liang Song) dekat Boa Ptesa dan menurunkan seluruh muatannya. Dewa Datu Awan Mas Kuning memerintahkan seluruh anak buah kapal-nya melakukan orientasi wilayah untuk memilih lokasi yang cocok sebagai tempat tinggal, hingga ke wilayah pedalaman. Disamping itu Kapal layar Gili Koana melakukan penyisiran di wilayah pantai ke arah timur hingga di Teluk Sengane. Hasil orientasi, mereka bertemu dengan kelompok-kelompok penduduk asli (9 kelompok) dengan pola hidup berburu dan meramu (dalam bahasa Berco disebut Bajompang). Dewa Datu Awan Mas Kuning memutuskan untuk menetap dan mengembangkan budidaya pertanian di lokasi Lar Uma Balik (Kebon Talo) sekaligus syiar Islam di wilayah tersebut.
Pada tahun 1512 , seluruh komunitas harus meninggalkan lokasi ini. Usaha budidaya pertanian mereka diserang oleh hama kodok berduri dan tikus besar
(Loho Kukut) yang populasinya sangat banyak. Kemudian mereka pindah ke Lang Lede (lang : padang), namun di lokasi ini hanya beberapa tahun saja, karena seluruh usaha pertaniannya diserang oleh sejenis jamur beracun (kulat prit) yang tumbuh di batang kayu akibat pembusukan. Oleh karena itu Dewa Datu Awan Mas Kuning memerintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut dan mencari lokasi yang lebih baik. Maka seluruh komunitas meninggalkan Lang Lede hingga menemukan suatu lokasi yang dianggap cocok yaitu di Lang Baha (baha: bawah). Di lokasi Lang Baha juga mengalami gangguan, yaitu kondisi alam di wilayah ini tidak cocok untuk dijadikan pemukiman dan usaha pertanian. Belum terlalu lama komunitas ini menetap, tiba-tiba sudah mendapat gangguan berupa angin yang disertai debu. Maka atas musyawarah seluruh komunitas memutuskan untuk menuju ke Selesek, lokasi ini merupakan tempat orang-orang Bajompang beraktivitas.
Rombongan Dewa Datu Awan Mas Kuning melakukan musyawarah dengan orang-orang Bajompang yang diwakilkan oleh Jompang Kuang Bira, Jompang Malinger, Jompang Jaluar, Ai Kalenang, Lang Songe, Rangajam, Pasura, Tajamu dan Tungkus Udat. Dalam musyawarah ini mereka meminta izin untuk menetap di Selesek dan hidup berdampingan dengan orang Bajompang. Nampaknya orang Bajompang menyambut baik niat rombongan Dewa Datu Awan Mas Kuning untuk menetap dan hidup berdampingan, meskipun mereka berbeda keyakinan. Orang bajompang masih menganut keyakinan leluhurnya, sedangkan rombongan Dewa Datu Awan Mas Kuning beragama Islam menyembah kepada Allah yang Maha Kuasa.
Hidup berdampingan yang belum berjalan lama, kemudian kedua kelompok besar ini melakukan musyawarah lagi untuk membentuk pemukiman yang lebih luas. Keputusan musyawarah tersebut menghasilkan nama-nama lokasi pemukiman, yaitu Dodo Aho (kelihatan jauh), Dodo Baha (Jauh dilihat dari bawah), Selesek, Suri, Lebah, Beru, dan Jeluar.
Tahun 1520 : Terbentuknya Pemerintahan kedatuan Dewa Awan Mas Kuning
Pada tahun 1520 terbentuklah sistem pemerintahan dengan nama Pemerintahan kedatuan Awan Mas Kuning yang membawahi 7 kelompok pemukiman. Kepala pemerintahan dipimpin langsung oleh Dewa Datu Awan Kuning dan wakilnya adalah Cek Bocek. Atas mandat dari Dewa Datu Awan Mas Kuning maka dalam menjalankan roda pemerintahan Cek Bocek membentuk kementrian yaitu; Kementerian Teme Dodo, Selesek (Cek Bocek), Kota Kedatuan Suri , Lebah (Kanurunan Lebah) dan Beru – Jeluar (Panyeberu). Sementara Dewa Datu Awan Mas Kuning mendapatkan sebutan baru, yaitu Balang Kelap. Seluruh jalannya roda pemerintahan ini di kontrol oleh wakil kepala, yaitu Cek Bocek.
Tahun 1622: Wasiat Dewa Datu Awan Mas Kuning
Pada tahun 1622, Dewa Datu Awan Mas Kuning membuat wasiat dalam bahasa berco, yang isinya menyebutkan sebagai berikut :
He….reko, ahi, anak, lar lamat ka a
Segalabere’kakili sampar benteng
Jangka atu balamung lar lamat ka a
Ita tino kuasa
Kakili bapak Datu
Turun temurun jangka sempu pitu
Kaseratan Datu Awan Mas Kuning
Wilaya suri reen selesek kakili nelu seribu telu rates lima pulu balu
Tin istambul datu awan mas kuning nyan tana selesek asal kakili buin lala
Jendre buin racen keringking, pamali, tuhhung, ai nunuk, kamasar, samaning,
teme, salaparang, huja, batu balamung, kebun, talo uma balik lang lede, selesek dodo
jangka sampar laun do…do…jangka do. Sury, leba, baru, jeluar, lawang
rare , kamilas, sampar banteng, lar lamat ka a kakili datu awan mas kuning jangka
lo maika tetap ya sising adat istiadat CEK BOCEK
Tahun 1623: Upaya Kerajaan Goa mempersatukan kerajaan-kerajaan Sumbawa
Hingga pada tahun 1623, Kerajaan Goa di Sulawesi yang dipimpin oleh Karaeng Maro Wanging mempunyai inisiatif mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Samawa (Sumbawa), termasuk Pemerintahan Dewa Datu Awan Mas Kuning. Kemudian seluruh kerajaan kecil di Samawa tidak terkecuali Pemerintahan Dewa Datu Awan Mas Kuning menghadiri undangan (pemberitahuan) tersebut. Singkat kata, Pemerintahan Dewa Datu Awan Mas Kuning menolak untuk dipersatukan dengan alasan bahwa Pemerintahan Dewa Datu Awan Mas Kuning adalah pemerintahan yang dilandasi oleh adat istiadat dari beberapa suku dan bukan bentuk kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Goa dan Kerajaan kecil lainnya yang ada di Samawa membuat kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian yaitu “Kerajaan Goa tidak akan pernah membinasakan Adat Istiadat Kepemerintahan kedatuan Awan Mas Kuning dan Kaerajaan Goa silakanlah memerintah sesuai dengan bentuknya, ” dan Islam-lah sebagai pondasi.
Tahun 1628 – : Pergantian kepemimpinan
Pada tahun 1628 Dewa Datu Awan Mas Kuning meninggal dunia. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh putra pertamanya, yaitu Dato M Hatta. Pemerintahan Dato M Hatta berjalan selama 62 tahun. Tahun 1692, Dato M. Hatta meninggal dunia, kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh putra pertamanya yang bernama Pua’ Dayu Usman.
Dalam kepemerintahannya, Pua’ Dayu Usman membuat kebijakan tentang ”pertahanan wilayah dan mempererat hubungan dengan komunitasnya”. Kebijakan atau strategi tersebut mendapat sambutan positif dari komunitas,
sehingga Pua’ Dayu Usman mendapatkan gelar sebagai Pua’ Adat. Untuk memudahkan pertahanan wilayah, Pua’ Dayu Usman memperkecil wilayah kedaulatannya, yaitu di bagian barat sampai ke Sampar Benteng, Jeluar, Beru, Lebak, Selesek, Suri dan Dodo. Di bagian selatan sampai di batas laut selatan dan di bagian timur sampai di Batu Balamung dan dibagian utara sampai di Bolon Tenga, Batu Beranak, Srihi dan Kamilas Suir Manis.
Pemerintahan Pua’ Dayu Usman (Pua Adat) hanya berjalan dari tahun 1692 hingga tahun 1728, kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Ne’ adat Tunru bin Usman. Pemerintahan Tunru melanjutkan kebijakan ayahnya dan mengintensifkan hubungan kekeluargaan dan syariat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Antara Agama Islam, budaya dan adat dipadukan dalam sistem pemerintahan Ne’ adat Tunru bin Usman, sehingga identitas komunitas ini melekat pada diri anggotanya serta saling menghormati masing-masing kedaulatannya. Ne’ adat Tunru bin Usman memerintah dari tahun 1728 hingga tahun 1814, kemudian pemerintahan diwariskan pada keturunannya.
Setelah meninggalnya Ne’ adat Tunru bin Usman diteruskan oleh putranya yang bernama Ne’ adat H. Damhudji dari tahun 1814-1912. Selama Ne’ adat H. Damhuji menjalankan pemerintahannya banyak mengalami tantangan dan cobaan, datangnya tidak saja dari luar Samawa, tapi juga datang dari Samawa. Kesultanan Samawa nampaknya sudah mengingkari perjanjian tahun 1623 yang isinya saling menghormati kedaulatan masing-masing. Kesultanan Samawa terpengaruh hasutan dan bujuk rayu Kolonial Belanda serta memanfaatkan Kesultanan Samawa untuk mengusir seluruh masyarakat komunitas yang dipimpin oleh Ne’ adat H Damhudji. Kolonial Belanda berhasil mengadu domba antara Kesultanan Samawa dengan Komunitas Ne’ adat H Damhudji.
Daulat Kesultanan Samawa mendapat perlawanan dari komunitas, seluruh komunitas masih tetap bertahan dan tidak ingin dipindahkan. Maka dengan kekuatan fisik dan mendapat bantuan dari kolonial Belanda, Maka atas kebijakan Ne’ adat H Damhuji untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar, ia mengikuti daulat Kesultanan Samawa agar mengosongkan wilayah pemukiman dan dipindahkan ke lokasi lain.
Untuk itu Kesultanan Samawa mempersiapkan lokasi dan dipersilahkan kepada warga Dodo, Selesek, Rensuri, Jeluar, Beru, dan Lebah, dipersilahkan membuka hutan untuk dijadikan pemukiman, menempati lokasi yang sudah ditentukan, yaitu :
ü Selesek dan Rensuri serta sebagian kecil masyarakat Beru dipindahkan ke Lawin
ü Dodo dipindahkan ke Labangkar
ü Lebah ke Babar (lunyuk)
ü Beru dipindahkan ke Ledang
ü Jeluar dipindahkan ke Lamurung
Pengusiran ini terjadi antara tahun 1930 hingga tahun 1935, karena komunitas masih mengandalkan usaha pertaniannya di lokasi lama. Selama melakukan hijrah, terucap kalimat yang ditujukan ke Sultan Baharuddin III yang menggunakan kekuatan Kolonial Belanda dalam pengusiran, yaitu :
Dapit padado lodana
Uleng pamojong makura
Pararen tu kanga jangi
Kacendeng enteng ramodeng
Setelah sampai ketempat peristirahatan
Membuka bungkusan tembakau atau makanan lainnya
Merenung nasib di perjalanan yang begitu malang
Jawabannya hanya iman yang kokoh
Dari tahun 1912 hingga tahun 1930, Ne’ adat H. Damhuji memimpin 6 komunitas dengan damai dan warga sejahtera, tapi pada 1930 hingga tahun 1938 merupakan masa kepemimpinan yang sangat berat dan sebagai tanda-tanda tercerai berainya 6 komunitas tersebut. Pada tahun 1959 ne’ adat H Damhuji meninggal dunia, dan warisannya diserahkan kepada Tuan Raja Hasbullah untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya.
Perkembangan zaman mulai berubah, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, hal inilah yang mempengaruhi kepemimpinan Tuan Raja Hasbullah. Nilai dan norma yang selama ini melekat pada diri komunitas lambat laun mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Disamping itu, 6 komunitas selama beberapa abad hidup berdampingan, kini mulai ada jarak dan penghalang.
Ketika mulai diberlakukannya undang undang tentang pemerintahan desa pada tahun 1974, selanjutnya komunitas yang dipindahkan secara paksa ke lokasi masing-masing secara administrative di rubah menjadi Desa Lebangkar, Desa Babar, Desa Murung dan Desa Ledang. Dan pada tahun 2004, desa Lebangkar dimekarkan menjadi 2 desa, yaitu Lebangkar dan Lawin. Pada masa-masa itulah system pemerintahan adat masa Kepemimpinan Tuan Raja Hasbullah menjadi kurang efektif selama kurang lebih 20 tahun. tetapi selama itu, ritual dan tata aturan adat masih tetap dijalankian
Sistem Pemerintahan desa dengan batas administrafif nya sebenarnya hanya untuk memudahkan pemerintah Indonesia dalam pengaturan program–program pembangunan di tiap wilayah .
Meskipun aktifitas sistem pemerintahan adat pada masa itu menjadi kurang efektif , namun tata-aturan adat yg menyangkut aturan penguasaan tanah, perkawinan, dan pelanggaran hukum tetap dipatuhi dikalangan anggota masyarakat adat , sehingga selama ini ketertiban masyarakat dapat tetap terjaga.
Lawin merupakan lokasi yang ditentukan berdasarkan daulat Sultan Kaharuddin III untuk warga Selesek dan Rensuri sebagai tempat tinggal hingga terbentuklah wilayah pemukiman. Namun minimnya progam pembangunan yg merupakan cermin dari kurang perhatiannya pemerintah terhadap wilayah ini, malah
menyebabkan ikatan kekerabatan diantara komunitas masyarakat adat menjadi semakin meningkat. Mereka merindukan system pemerintahan yang adil dan dapat mensejahterakan rakyatnya.
Karena pada diri masing-masing komunitas masih melekat adat istiadat yang diwariskan oleh leluhurnya secara turun temurun, pada awal masa kepemimpinan Datu Sukanda RHD sistem pemerintahan adat yang diberi nama ”Cek Bocek”, mulai menjalankan peranannya kembali, pertemuan rutin di rumah adat dan rapat-rapat penting di antara pengurus adat (Rapulung) hidup kembali, terutama hal-hal yang menyangkut kawasan wilayah adat.
Cek Bocek adalah nama seorang leluhur yang di tunjuk oleh Dewa Datu Awan Mas Kuning sebagai tangan kanannya (wakil) dengan perannya sebagai pengawas jalannya roda pemerintahan adat. Disamping itu Cek Bocek juga sebagai kedatuan Selesek – Rensuri, Selanjutnya Datu Sukanda RHD melanjutkan kepemimpinan adatnya, hingga saat ini.
Saksi Sejarah :
Saksi sejarah yang masih hidup yaitu Bapak Ahum atau biasa dipanggil Ne Mareng saat ini beliau telah berumur ± 105 tahun. Bapak Hasim Padadu atau biasa dipanggil Ne Mata berumur sekitar ± 103 tahun. Bapak Undru dengan panggilan Ne Ande berumur ± 97 tahun dan Bapak ne Okol 98 tahun.
Pemukiman Lawin
Setelah komunitas Selesek – Rensuri melakukan perlawanan atas daulat Sultan Kaharuddin III yang mengusir seluruh masyarakat dari pemukimannya dan untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak lagi maka Ne’ adat H Damhudji bin Tunru memerintahkan agar meninggalkan lokasi. Keputusan ini atas perjanjian dengan Kesultanan Sumbawa yang berjanji memperluas wilayah. Setelah melalui proses perpindahan yang dimulai pada tahun 1933 hingga tahun 1935 seluruh warga Selesek – Rensuri dan sebagian warga Beru menuju ke Lang Penghadang yang kemudian setelah penduduk banyak dinamakan Lawin (lawan) sebagai lokasi pemukiman yang baru. Tetapi isi perjanjian mempunyai maksud tertentu, hal ini diketahui setelah Kolonial Belanda membawa berkarung-karung pasir yang diambil dari Selesek – Rensuri.
Penduduk yang menempati lokasi baru masih dibawah kepimimpinan Adat Ne’ adat H Damhudji bin Tunru, kemudian ia membuat kebijakan pembagian tanah/lahan yang dapat diusahakan sebagai persawahan dan mendirikan rumah. Ne’ adat H Damhudji bin Tunru memerintahkan membuka lokasi yang masih tetutup hutan, sementara Ne’ adat H Damhudji membuka lokasi di Pliuk Plempat Bengkal, Pliuk Mleku, Kuhang Jeringo dan lainnya. Sementara warga yang lain mengikuti di lokasi sekitarnya. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari warga masih melakukan aktivitas di lokasi lama, terutama mengambil hasil padi dan bejalid sebagai kebutuhan pangan di lokasi baru.
Rumah pertama yang berdiri berlokasi di Karang Tenga yang dimiliki oleh Ne’ adat H Damhudji sekarang dekat muka Masjid Karang Lawin, rumah berikutnya
di Karang Suri yang dimiliki oleh Kwantan, setelah itu warga mengikuti yang membentuk arah barat-timur. Bahan baku untuk mendirikan bangunan rumah diambil dari daerah sekitar pemukiman, terutama memanfaatkan kayu yang ditebang dalam membuka persawahan.
Lokasi Lawin pada tahun 1935 secara resmi diduduki oleh komunitas Selesek – Rensuri dan unit komunitas disebut dengan “Karang”, meskipun demikian kepemimpinan Ne’ adat H Damhudji masih terkoordinir. Setelah pemukiman berdiri yang jumlahnya sebanyak lebih kurang 140 rumah termasuk sebuah Masjid, maka untuk memperlancar roda pemerintahan membagi kawasan pemukiman berdasarkan karang (dusun), setiap karang dipisahkan oleh jalan utama yang disebut Raren Rango (jalan). Pembagian karang berdasarkan wilayah asal (dari Selesek – Rensuri), yaitu karang suri, karang beru, karang selesek, karang aho, karang pandeng. Pada setiap lokasi karang ada seorang pemimpinnya berdasarkan asal-usul yang dibawa dari kampung lama yang disebut Ne’ karang (juru putar). Setelah sistem pemerintahan adat berjalan normal maka pada tahun 1959, H Damhudji bin Tunru wafat dan dimakamkan di pemakaman Jepan, karang Selesek (Lawin).
Ne’ adat H. Damhudji bin Tunru memimpin dilokasi yang baru (Lawin) selama 24 tahun, selama itu Ne’ adat H Damhudji sudah meninggalkan hasilnya dalam menata usaha pertanian, menata pemukiman dan sistem pemerintahan. Setelah wafat dilanjutkan oleh Tuan Raja Hasbullah bin H Damhudji memimpin karang Lawin dari tahun 1959 – 1996. Program utama yang dikembangkan oleh Tuan Raja Hasbullah adalah membuka akses jalan untuk memudahkan komunitasnya berhubungan dengan wilayah luar dan kemudian setiap tahun dilakukan cacah jiwa. Selain itu, kepada setiap keluarga untuk membuat lumbung padi sebagai ketahanan pangan jika terjadi paceklik. Dalam segi pendidikan, Tuan Raja Hasbullah juga mendirikan sekolah pada tahun 1964 yang dinamakan sekolah partikulir, alat tulis yang digunakan kalam batu (batu tulis), lokasi sekolah di tihu lompa, karang Lawin.
Pada tahun 1968, dibangun sekolah yang lebih besar di Karang Lawin atas inisiatif warga, kemudian setelah sekolah berdiri Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat meningkatkan status sekolah tersebut menjadi Sekolah Dasar Negeri Lawin. Untuk menjual hasil bumi, warga karang Lawin menggunakan kuda sebagai sarana angkutan yang dipasarkan ke pasar Sumbawa.
Hingga pada tahun 1974 sistem pemerintahan diganti, yaitu karang Lawin menjadi dusun Lawin yang menginduk ke desa Labangkar, pada waktu itu yang mejadi kepala dusun adalah M.Yasin beberapa tahun dilanjutkan oleh Unru setelah beberapa tahun dilanjutkan oleh Dayo Injang, kemudian digantikan oleh A. Rasyid Thalib dan Rusdi Kafli. Hingga pada tahun 2004, dusun Lawin ditingkatkan statusnya menjadi desa persiapan yang dikepalai oleh Suhardin Manja. Pada tahun 2007 menjadi desa definitif dengan luas wilayah 33,31 km berdasarkan SK Bupati No.12 Tahun 2006.
Sejak diberlakukannya seitem pemerintahan dusun/desa dari tahun 1974 tejadi dualisme kepemimpinan, meskipun demikian masing-masing pemerintahan berjalan secara hormonis. Untuk urusan keluar dan administrasi dijalankan oleh pemerintahan dusun/desa, tetapi untuk urusan kedalam yang mengatur tata usaha dan tata kelola diperankan oleh adat.
Meskipun komunitas Selesek – Rensuri sudah menetap di Lawin, tapi masih tetap melakukan aktivitas mengolah produksi gula merah (gula aren/bejalit) di Selesek – Rensuri. Namun pada tahun 1986, kepala Desa Lebangkar (H.Syamsuddin Mursyid) dan kepala Dusun Lawin (Rusdi) terjadi perselisihan faham dengan komunitas. Pemerintahan desa/dusun melarang warga Lawin dan Lebangkar melakukan aktivitas bejalit di Selesek – Reensuri dan Dodo, dengan alasan bahwa dilokasi tersebut akan dilakukan survey oleh Belanda (orang putih). Tapi sebagian warga Lawin dan warga Lebangkar tetap melakukan bejalit, pada saat itu berpapasan dengan Tim Survei. Ternyata tim survey tersebut utusan dari Perusahaan Pertambangan, sehingga menimbulkan konflik dengan warga yang melakukan usaha bejalit.
Sejak itulah komunitas adat yang dipimpin oleh Tuan Raja Hasbullah mengalami perselisihan dengan pemerintahan desa. Secara struktural desa harus menjalankan tugas yang amanatkan oleh Pemerintah daerah, secara individual kepala desa/dusun tidak ada perselisihan dalam kehidupan sehari-hari, disisi lain komunitas adat berpegang teguh pada aturan yang sudah di wariskan oleh leluhurnya. Kepala desa/dusun harus berpijak pada dua kaki, sehingga terjadi perselisihan. Munculnya perselisihan semakin memuncak, usaha rumah tangga warga Lawin dan warga Lebangkar semakin tidak mencukupi karena dilarang bejalit.
Pada tahun 1993 masyarakat mulai berontak dan melanjutkan lagi aktivitas bajalit, namun kegiatan tersebut tercium oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Maka aktivitas bejalit di Selesek – Rensuri dan Dodo melanggar hukum, karena wilayah tersebut sudah menjadi Konsesi Pertambangan. Tapi komunitas Lawin dan Lebangkar melakukan perlawanan atas ijin Konsesi Pertambangan di wilayah Adat , sehingga konflik semakin tajam. Karena Komunitas Lawin dan Lebangkar terus melakukan perlawanan maka banyak pihak yang melibatkan diri, baik secara perorangan, lembaga atau institusi, perusahaan maupun dari kesultanan.
Pergolakan dan konflik yang semakin tajam baik antar anggota masyarakat maupun dengan pihak-pihak yang ingin menguasai Selesek – Rensuri dan Dodo, Tuan Raja Hasbullah di panggil yang Maha Kuasa pada tahun 1996. Selama 38 tahun Tuan Raja Hasbullah memimpin komunitas sejak di Selesek – Rensuri hingga di Lawin. Kemudian berdasarkan garis keturunannya maka kepemimpinan diteruskan oleh putranya yang bernama Datu Sukanda RHD sampai saat ini.